Minggu, 26 Mei 2013

HIDUP BUNG KARNO!


UNTUK MENYONGSONG HARI ULTAH LAHIRNYA PANCASILA DAN BUNG KARNO TAHUN 2013 "INDONESIA BERJUANG" AKAN MENAYANGKAN ARTIKEL-ARTIKEL BERKAITANNYA (1)
http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/05/hidup-bung-karno.html

Hidup Bung Karno!

by Hersri Setiawan (Notes) on Saturday, May 25, 2013 at 4:49am
Pengantar
Ini naskah lama, ditulis untuk peluncuran buku Romo Baskara T Wardaya S.J. sekaligus untuk memperingati hari-bulan enam-kembar, “the double six day” --tanggal 6 bulan 6 (1901) --, harilahir Bung Karno, saya turunkan artikel lama berjudul “Hidup Bung Karno!”. Tulisan ini saya susun untuk menyambut peluncuran buku berjudul “Bung Karno Menggugat”, yang diselenggarakan di Toko Buku “Gunung Agung” Jakarta, pada 11 Maret 2006.[1]
 
 
6 Juni 1901 – 6 Juni 2011
Hidup Bung Karno!


Gelora tuntutan reformasi dan demokrasi tahun 1998 sudah satu windu berlalu (sekarang, 2012, tentu saja sudah 14 tahun). Sudah cukup waktu kiranya bagi kita untuk menoleh ke belakang, kemudian dengan tenang mengamati perjalanan sejarah masa lalu.
Pandangilah dua sosok presiden kita di sampul buku ini. Soekarno, presiden seumur hidup yang didongkel ambruk sesudah duapuluh tahun; dan Suharto, presiden “konstitusional¨ yang nyaris berhasil membangun dinasti turun-temurun. Siapakah dari yang dua itu yang demokrat, dan siapakah yang diktator sejati? Siapakah yang sejak muda remaja sampai tutup usia terus-menerus menyerahkan hidupnya untuk rakyat, dan sebaliknya, siapakah yang sepanjang lebih 30 tahun kekuasaannya sibuk memeras keringat rakyat dan menggadaikan negerinya -- demi kepentingan diri sendiri, keluarga dan kroni-kroninya? Mengapakah mereka itu, sebut saja Dake, Fic, Giebels – masih saja membuta-tuli terhadap kenyataan busuk yang berjimbun dan mencolok di depan mata?

Sekitar tiga minggu lalu, menyambut launching pertama buku Romo Baskara T. Wardaya SJ di Yogya, saya katakan tanpa tedeng aling-aling: “Suharto penanggung jawab pertama dan utama pembantaian massal pasca-G30S 1965¨. Itu sengaja sebagai semacam test-case. Saya ingin mempertanyakan tentang maraknya gejala-gejala, yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk, sambil meneruskan kampanye de-Soekarnoisasi, mengobarkan kampanye re-Suhartoisasi, melalui berbagai cara, seperti: penghargaan DPP Golkar, penghargaan “Forum Kawula Muda Ayodya Tulada Yogyakarta¨ sebagai satu dari sepuluh tokoh SU (Serangan Umum) 1 Maret 1949[2], penerbitan berturut-turut buku Antonie Dake dan Victor Fic, kunjungan Dake ke Suharto di Cendana sekitar akhir November 2005.
Untunglah kita, karena dari pertemuannya dengan Dake itu ada petunjuk baru sehubungan dengan “pembersihan ‘65¨. Kepada Dake, Suharto dengan tegas dan jelas mengatakan, bahwa “over zuivering in ‘65¨ (tentang pembersihan tahun ’65) ialah untuk “begraaf het slechte¨, mengubur yang busuk. Ia berlindung di balik ungkapan Jawa dengan mengatakan: Mikul dhuwur mendhem jero.[3] Ternyata begitulah arti dan tujuan pembantaian 1965, menurut Suharto: Untuk mengubur sedalam-dalamnya yang busuk! Siapakah yang busuk itu, menurut Suharto? Bukan pertanyaan sukar untuk dijawab. Juga kiranya jelas, bahwa di dalam kategori “yang busuk¨ itu termasuk Bung Karno. Sebab, ungkapan yang sama ini pernah diucapkan Suharto, menurut pengakuannya sendiri di dalam biografinya, ketika ia menjawab pertanyaan Bung Karno (dalam bahasa Jawa): “Harto! Aku iki arep tok kapakké?¨ (Harto! Aku ini hendak kauapakan?) Jawab Suharto: “Mikul dhuwur mendhem jero, Pak!¨

Demikianlah perihal pertama yang hendak saya katakan. Sebuah konstatasi dan sinyalemen sekaligus. De-Soekarnoisasi digalakkan terus. Sementara itu, setelah satu windu, satu siklus jaman menurut hitungan penanggalan Jawa, re-Suhartoisasi mulai dikibar-kibarkan dan dikobar-kobarkan. Dan yang sangat penting lagi, pengakuan Suharto sendiri, bahwa pembantaian tahun ‘65 untuk “mendhem jero¨ yang baginya busuk.

Pada suatu ketika, dalam salah satu pidatonya, atau dialognya dengan rakyat, Bung Karno mendalang. Kali itu Bung Karno me-nyondro atau melukiskan pemuda Kakrasana, tatkala baru turun dari pertapaan Grojogan Sèwu. Betapa gagah dan penuh “p-d¨ pemuda itu, karena ia berhasil mendapat anugerah para dewata berupa azimat bernama “Nanggala¨, yang telah manjing atau masuk di kedua telapak-tangannya. Dengan azimat itu, pikirnya, ia akan mampu bersama adiknya, Kresna yang awatara atau titisan Wisnu, untuk mamayu hayuning bawana. Menjaga dan memelihara kesejahteraan alam semesta. Bukan sekedar demi Mandura, negeri dan kerajaannya sendiri.
Bertahun-tahun kemudian, sesudah Bung Karno lama disingkirkan dengan
sewenang-wenang Orde Baru, saya teringat beliau sekaligus fragmen kisah Kakrasana itu. Entah secara sadar atau tidak sadar, pikir saya, Bung Karno ketika itu sedang berekspresi tentang jatidirinya sendiri[4]. Tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno mengawali karya pengabdiannya bagi bangsa dan negara, tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mempersembahkan sipat kandel atau azimat bagi diri sekaligus bagi bangsanya, yaitu Pantja-Sila[5]. Barangkali tidak ada duanya selain Bung Karno, sebagai pemimpin bangsa di negeri bekas jajahan yang memerdekakan diri pada masa pasca-PD II, yang tampil di gelanggang sejarah dengan telah membawa Weltanschauung atau pandangan hidup bagi bangsa dan negaranya. Sebuah pandangan hidup yang tidak hendak menempuh “Jalan Washington¨ tapi juga tidak “Jalan Moskow¨.
Apa yang dengan pandangan hidupnya itu akan dijawab Bung Karno, sejatinya memang masalah yang besar dan umum dihadapi oleh bangsa-bangsa yang baru merdeka pada pasca-PD II. Masalah itu ialah masalah nation building dan character building. Masalah idiil yang oleh Bung Karno sudah terus-menerus diperjuangkannya sejak awal sekali, yaitu sesegera sesudah Bung Karno turun di tengah gelanggang politik.

Ada tiga tulisan besar yang, pada hemat saya, memuat isi pikiran sekaligus mencerminkan semangat Bung Karno. Tiga tulisan besar itu ialah: Nasionalisme, Islam dan Marxisme (1926), Indonesia Menggugat (1930), dan Mentjapai Indonesia Merdeka (1933). Adapun Pantja-Sila (1945) adalah “endapan¨ pemikiran dan semangat Bung Karno, sepanjang kiprah juangnya sejak akhir tahun belasan abad ke-20 sampai akhir jaman Jepang di Indonesia.
Selain dua masalah idiil tersebut di atas, ada tiga tugas praktis besar, yang
dihadapi bangsa-bangsa yang baru merdeka pada masa pasca-PD II. Tugas itu ialah:
 (1) “menggembleng” persatuan dan kesatuan bangsa;
 (2) membangkitkan dan memberdayakan potensi dan kekuatan bangsa; dan 
(3) mengisi kemerdekaan dengan usaha bersama untuk memenuhi “hajat hidup orang banyak¨.
Bung Karno memang belum sepenuhnya berhasil memenuhi tugas yang tiga itu, terutama untuk tugas butir ketiga. Karena itu Bung Karno sendiri selalu menegaskan, bahwa Revolusi Agustus belum selesai. Tapi bandingkanlah, misalnya, dengan Mahatma Gandhi di India yang tidak kuasa menahan lahirnya negara Pakistan. Atau lihatlah, misalnya, Malaya, Sri Langka dan Vietnam yang bertahun-tahun dilanda perang saudara itu, dan yang bahkan sampai sekarang (2006) dunia menyaksikan adanya dua Vietnam!
Mengapa Bung Karno berhasil? Pertama-tama dan terutama berkat ajaran-ajarannya, yang tersimpul di dalam Pantja-Sila, dan dipadu dengan leadership-nya yang populis dan karismatik. Bung Karno mampu memelihara persatuan dan kesatuan Indonesia, negeri yang terdiri dari banyak pulau dan dihuni banyak (suku)
bangsa, serta didominasi oleh mayoritas kaum muslim, karena ia mampu membangun dan mempererat persaudaraan antar-(suku) dan antar-kekuatan religius dan sekuler.
Bung Karno ialah sosok dari ruh persatuan dan kesatuan itu sendiri. Ia mampu melihat nasionalisme dan humanisme (internasionalisme), sebagai dua sisi belaka dari fenomena hidup yang satu dan sama, yaitu Kemanusiaan. Ia mampu melihat kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, sebagai dua sisi belaka dari fenomena kehidupan yang satu dan sama, yaitu Demokrasi. Kemanusiaan dan Demokrasi, di bawah sinar keimanan pada Tuhan YME. Oleh karena itu Bung Karno, dalam bukunya Lahirnja Pantja Sila itu, dengan tanpa bimbang menegaskan, bahwa sila yang lima itu bisa diperas menjadi tiga, dan yang tiga itu pun bersumber dari dan bermuara pada yang satu, yaitu Gotong Royong ibarat kepalan tinju jejari yang lima. Gotong Royong, Eka-Sila, di bawah sinar keimanan pada Allah subhanahu wa taala. Prinsip Gotong Royong yang berprinsip.
Demikianlah perihal kedua yang hendak saya kemukakan.

Apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan Bung Karno itu bukan untuk Indonesia, negeri dan rakyatnya saja. Seperti Kakrasana yang tidak hanya berpikir tentang Mandura. Tetapi untuk mamayu hayuning bawana seluruh rakyat sedunia, sebagaimana secara harfiah dirumuskan dalam Mukadimah UUD 45, dan belakangan secara jelas dan rinci diucapkannya dalam pidato To Build the World Anew[6], Membangun Dunia Baru. Seperti telah dibuktikannya dengan terselenggaranya pesta olahraga nefo (Ganefo; Games of the new emerging forces[7]), dan usahanya untuk menyelenggarakan Conefo (Conference of the emerging forces) dalam akhir 1965 di Jakarta.
Bung Karno tentu sadar, bahwa untuk itu semua ia pribadi dan Indonesia harus menghadapi resiko, diadang oleh kepentingan nekolim yang jauh-jauh hari sudah dirancang dan diorganisasi oleh Amerika Serikat (selanjutnya AS). Maka tidak aneh jika sampai sebelum pemilu 1955, pada pokoknya AS masih mendukung RI, tetapi kemudian sejak sesudah pemilu dan sejak penegasan Bung Karno tentang politik Indonesia yang bebas aktif dan berdikari, AS lalu mengembangkan politik yang bertentangan dengan RI -- terutama sejak berkuasanya dua bersaudara Dulles: John F Dulles dan Allen W Dulles. Lalu, dengan kewenangan resmi pemerintah, CIA melancarkan operasi-operasinya di Indonesia. Lebih lanjut silakan mengikuti uraian Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Bagian II Buku ini, hal. 77 s/d 140.
Tapi ada dua hal yang ingin saya ajukan dalam hubungan ini. Pertama, yaitu SOB (Staat van Oorlog en Beleg; State of War and Siege; Keadaan Perang), Maret 1957, yang menjadi sarana ampuh untuk menumpas PRRI/Permesta yang didalangi AS, tapi bersamaan itu juga menjadi wahana empuk untuk TNI naik ke panggung politik. Kedua, diakhirinya demokrasi setengah-suara-tambah-satu, dan digantikan oleh Demokrasi Terpimpin sejak Oktober 1956. Sejak itu dunia kepolitikan di Indonesia terfokus pada figur Bung Karno, sementara parpol-parpol ribut berebut boncengan pada kebesaran Bung Karno, sambil main sikut dan main intrik. Maka ketika itulah keluar kata-kata peringatan Bung Karno: “Jangan gontok-gontokan!¨ dan “boleh jor-joran, tapi jangan dor-doran!¨ Jangan mengembangkan konkurensi tapi kompetisi!
Di alam SOB dan Demokrasi Terpimpin kebinekaan dan pluralisme menjadi terancam. Sementara pengaruh PKI, partai yang paling keras dan gigih anti-AS sebagai “musuh dunia nomor satu¡¨, menjadi semakin meluas. Ini tentu saja membikin takut parpol-parpol kanan, sehingga karenanya terdorong menjalin kerjasama konspiratif dengan tentara. Polarisasi kekuatan inilah yang sudah ditunggu-tunggu AS dengan tidak sabar. Dalam konteks inilah tentu, maka timbul istilah “our local army friends¨ di dalam dokumen yang dikenal sebagai bernama
“Dokumen Gilchrist¨ [8]. Tokoh-tokoh CIA lalu menjalin kontak intensif dengan
TNI, dan dengan demikian terbangunlah sudah panggung kolosal untuk “Peristiwa
G30S/PKI¨. Kudeta militer yang dibantu CIA dan pemerintah AS sudah siap
dilancarkan. Maka terjadilah “pertemuannya tiga sebab” [9] meletusnya Peristiwa
G30S 1965 itu.
Itulah perihal ketiga.

Saya sampai pada perihal keempat, perihal terakhir sebagai sumbangsih saya
untuk peluncuran bukunya Romo Baskara. Menurut pendapat saya semua kekuatan
sosial-politik yang pernah kiprah selama 20 tahun kepemimpinan Bung Karno,
tentunya minus PKI dan ormas-ormas onderbouw serta simpatisannya, sampai
sekarang masih tetap memainkan peranan masing-masing dengan giat. Sementara itu setting panggung kepolitikan Indonesia, sudah tidak bisa dibandingkan lagi
dengan setting panggung di masa Bung Karno. Beberapa gejala sosial-politik  ingin saya sebut.
Pertama, Indonesia sekarang ialah Indonesia yang dilanda krisis multi-dimensi, termasuk krisis kepemimpinan. Dalam keadaan demikian itu timbul gejala ikutannya, yaitu kesatuan dan persatuan nasional yang terancam parah oleh gerakan separatisme. Sementara itu kaum Islam fundamentalis pun masih terus berdaya-upaya mengubah RI yang sekuler menjadi negara Islam. Gejala berikutnya, yang berkaitan dengan tokoh Bung Karno dan ajaran-ajarannya, yaitu bahwa Pantja-Sila sudah digelapkan dan sudah dihapus dari sejarah. Padahal Pantja-Sila itulah sejatinya dasar fondasi kesepakatan para bapak dan ibu bangsa
untuk eksistensi Republik Indonesia [10]. Sementara itu, dominasi militerisme
Orde Baru belum bisa dikatakan telah sama sekali tamat oleh gerakan reformasi
dan demokratisasi 1998 (yang notabene ibarat taufan dalam gelas itu!). Maka
otoritarianisme pun, sebagai ekspresi militerisme selama lebih 30 tahun, sampai
sekarang masih juga bernafas. Sehingga sebagai akibatnya menjadi tidak aneh
jika sampai sekarang pun bayangan hitam tragedi berdarah 1965/66 masih belum
sirna dari suasana kehidupan sehari-hari masyarakat -- baik di pihak “korban¨
dan yang dikorbankan, maupun terutama justru di pihak yang mengorbankan.
Semuanya itu pasti akan menghambat keterbukaan politik, yang pada gilirannya akan menghambat juga penyelesaian krisis dan konflik di sana-sini yang mengancam amanat Bapak Bangsa Bung Karno, yaitu kesatuan dan persatuan Indonesia.
Barangkali inilah juga jawaban dan alasannya, mengapa sampai sekarang urusan penyusunan anggota KKR tak kunjung selesai dan bahkan telah batal; begitu juga kasus Munir, kasus Semanggi I dan II, kasus Tanjung Priok, kasus Lampung, dan seribusatu kasus lainnya tinggal bergalau dalam wacana. Aksi “Kemisan”, yaitu unjuk-rasa damai dengan berdiri di depan istana Prrsiden setiap hari Kamis, masih terus berjalan seolah “tanpa gema”, karena memang “dicuekin”.
Pantja-Sila Bung Karno harus diperkenalkan kepada angkatan muda, yang -- notabene -- selama 30 tahun lebih telah dicekoki dengan “Pancasila Orde Baru¨, sehingga mereka terlanjur apriori mereaksi sinis jika mendengar kata “pancasila¨. Justru di tengah krisis multi-dimensional yang berlarut-larut ini ideologi Pantja-Sila, dasar kontrak eksistensi bangsa dan negara Indonesia itu, relevan dicermati kembali untuk lebih lanjut, bisa dihidupkan kembali dalam praktik bermasyarakat dan bernegara. Lembaga-lembaga “akar rumput¨ yang gandrung akan adanya perubahan dan pembaharuan, barangkali bisa mulai dengan membuka diskusi-diskusi atau kursus-kursus tentang Pantja-Sila.

Saya percaya Pantja-Sila Bung Karno bisa menjadi sarana untuk keluar dari segala
macam krisis di tanahair yang dari hari ke hari hanya semakin menjadi parah. Saya percaya, karena saya percaya Bung Karno.
Terimakasih!


Tangerang , 8 Maret 2006


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Judul selengkapnya buku itu Bung Karno Menggugat -- Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Massal ‘65 hingga G30S; karya Dr.Baskara T. Wardaya SJ; diterbitkan oleh GalangPress Yogyakarta.
[2] Harian Kompas 2 Maret 2006, hal. 25.
[3] Dake dengan tepat menerjemahkannya sebagai “Wij moeten het goede hooghouden en het slechte begraven¨ (Kita harus menjunjung tinggi yang bagus, dan mengubur yang busuk); harian Volkskrant, 26 November 2005.
[4] Lihat Lahirnja Pantja-Sila: (Yogyakarta, Goentoer, 1949) , bagian awal, ketika Bung Karno bersujud di malam
Bung Karno Menggembleng Dasar-Dasar Negara

hari, di halaman belakang rumah Pegangsaan Timur, setelah inspirasi tentang
Pantja-Sila turun kepadanya.
[5] Sengaja saya gunakan ejaan lama, sesuai aselinya, untuk membedakan dengan
“Pancasila¨ secara “murni dan konsekuen¨ ala rezim Orba Suharto. Pancasila yang membunuh Pantja Sila.
[6] Pidato Presiden Soekarno di depan Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955;
juga pidato di depan Sidang Umum PBB; terbit oleh Departemen Luar Negeri RI,
Jakarta 1960: 35 hal.
[7] Diselenggarakan di Jakarta bulan November 1963.
[8] Victor M.Fic, Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi Tentang Konspirasi; Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2005, hal. 370.
[9] Lihat Pelengkapan Pidato Nawaksara, Presiden Soekarno di depan MPRS 10
Januari 1967, butir “d¨.
[10] Baca pada akhir Lahirnja Pantja-Sila tersebut, yaitu ketika Bung Karno
menawarkan bentuk negara yang hendak mereka sepakati bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar