Selasa, 16 Juli 2013

Bung Karno Dan Konsep Partai Pelopor


http://indonesiaberjuang-gerpindo.blogspot.nl/2013/07/bung-karno-dan-konsep-partai-pelopor.html

Bung Karno Dan Konsep Partai Pelopor

Berdikarionline.com. Jumat, 10 Februari 2012 | 5:16 WIB  

14

Pada Agustus 2002, Rachmawati Soekarno Putri, anak ketiga Bung Karno, mendirikan Partai Pelopor. Konon, nama ‘pelopor’ itu dimaksudkan untuk mengabulkan cita-cita Bung Karno. Rupanya, di mata Rachmawati, Bung Karno pernah punya keinginan mendirikan partai pelopor. Tetapi Partai Pelopor ala Rachmawati itu jauh dari konsep Partai Pelopor-nya Bung Karno. Partai Pelopor ala Rachmawati itu tidak berbeda dengan partai-partai borjuis pada umumnya.

Namun, seperti kita ketahui dari sejarah, Bung Karno gagal mewujudkan cita-cita itu. Pada tahun 1927, di Bandung, ia dan kawan-kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kendati muncul sebagai organisasi politik yang disegani, tetapi PNI gagal menjelma menjadi partai pelopor ala seperti yang diidam-idamkannya.

Pada tahun 1930-an, muncul polemik antara Bung Karno dan Bung Hatta. Di mata banyak orang, inti polemik itu adalah soal konsep partai politik: Bung Hatta mengusulkan partai kader, sedangkan Bung Karno mengusung partai massa.

Kesimpulan itu sering membuat orang salah kaprah: Bung Karno dianggap meremehkan perlunya kaderisasi dan pendidikan massa. Catatan Jakob Oetama, Suara Nurani: Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001, menempatkan Bung Karno, sebagai seorang orator, mengutamakan pentingnya membangkitkan massa rakyat. Sebaliknya, di mata Jakob Oetama, Hatta yang seorang pemikir dipandang mengutamakan kaderisasi.

Jika kita menelusuri pemikiran Bung Karno, maka diketahui bahwa Bung Karno sebetulnya adalah pengusung gagasan partai pelopor. Di salah satu tulisannya yang sangat lengkap, Mencapai Indonesia Merdeka, Bung Karno berbicara tentang partai pelopor.

Sebelum menggeledah konsep Bung Karno soal partai pelopor, saya akan berusaha menjelaskan soal “Massa-Aksi”-nya.  Konsep “Massa Aksi” Bung Karno banyak dipengaruhi oleh tulisan serupa dari Tan Malaka, ditambah pengalaman partai Sosialis Demokrat di Belanda dan Jerman. Tan Malaka misalnya mengatakan: “Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji revolusioner.”

Apa massa itu? Menurut Bung Karno, massa bukanlah cuma “rakyat jelata yang berjuta-juta” saja. Melainkan, kata Bung Karno, rakyat jelata yang sudah meleburkan semangatnya menjadi satu, kemauan satu, dan tekad yang satu.

Lalu, Bung Karno membedakan antara “Massa Aksi” dan “Massal Aksi”. Massa aksi adalah aksinya rakyat jelata yang, karena timpukan penindasan yang sudah tak tertahankan, menjadi sadar dan berkehendak membuat perubahan radikal.

Suatu massa aksi, kata Bung Karno, baru benar-benar menjadi massa aksi jikalau rakyat jelata sudah berniat membongkar sama sekali keadaan tua (sistem sosial lama) dan menggantinya dengan keadaan baru (sistem sosial baru).

Oleh karena itu, suatu massa aksi mesti dipandu oleh cita-cita: idealisme masyarakat baru. Ini pula yang membedakan massa aksi dengan ‘massa yang radikal tapi hanya sesaat saja’. Bung Karno menegaskan: “memang massa aksi itu selamanya radikal; selamanya berjuang menjebol keadaan lama dan membangun masyarakat baru.

Sementara massale actie adalah pergerakan rakyat yang orangnya bisa ribuan, bahkan jutaan, tapi tidak radikal dan tidak revolusioner: tidak bermaksud membongkarnya akarnya masyarakat tua dan menggantinya dengan masyarakat baru.

Bung Karno mengambil pengalaman Sarekat Islam sebagai contoh “massal aksi”: anggotanya banyak, cabangnya banyak, badan koperasinya banyak, serikat-serikat sekerja (serikat buruh) banyak, segala-galanya banyak, tetapi pendiriannya tidak radikal—tidak bermaksud merombak struktur sosial masyarakat.

Partai Pelopor

Bagaimana partai pelopor di mata Bung Karno?
Partai pelopor, kata Bung Karno, haruslah partai yang punya azas perjuangan dan program yang 100% radikal: berjuang melenyapkan susunan masyarakat lama dan berjuang mewujudkan susunan masyarakat baru.

Akan tetapi, bagi Bung Karno—ini inti pemikirannya: sebuah azas perjuangan dan program yang radikal akan menjadi ‘omong kosong’ belaka, hanya akan menjadi aksara mati, jikalau partai tersebut ‘tidak membanting tulang membangkitkan massa aksi dan mengomando massa aksi ke arah surganya kemenangan’.

Dengan demikian, sebuah partai pelopor harus punya dua kriteria: pertama, partai pelopor harus punya azas perjuangan dan program yang radikal, dan kedua, partai pelopor harus aktif berjuang di tengah massa, membangkitkannya menjadi massa aksi, dan memimpin perjuangan massa aksi.
Bagaimana membangun partai pelopor?

Pertama, partai pelopor harus menyempurnakan diri: partai pelopor harus sempurna dalam keyakinan (ideologi), di dalam kedisiplinan, dan di dalam organisasinya. Ia harus mencetak kader yang teguh dan kokoh seperti baja. Disiplin partai pelopor meliputi tiga hal: disiplin teori, disiplin taktik, dan disiplin propaganda.

Oleh karena itu, kata Bung Karno, sebuah partai pelopor harus dipandu oleh sebuah teori revolusioner. “Tanpa teori revolusioner maka tidak ada pergerakan revolusioner,” kata Bung Karno mengutip Lenin.
Teori revolusioner ini, kata Bung Karno, harus dipasokkan kepada seluruh kader dan anggota melalui pendidikan reguler, kursus-kursus politik partai, majalah dan bacaaan-bacaan partai, dan lain sebagainya.

Kedua, sebuah partai pelopor, kata Bung Karno, haruslah dibimbing oleh sebuah prinsip yang disebut “democratisch centralisme” (sentralisme demokrasi): sebuah prinsip kepemimpinan di dalam partai yang mengisyaratkan adanya kesatuan dalam aksi (tindakan).

Menurut Bung Karno, prinsip sentralisme-demokrasi ini yang memberi ruang kepada kepemimpinan partai untuk memerangi setiap bentuk penyelewengan terhadap strijdpositie (posisi perjuangan) partai. Penyelewengan yang dimaksud Bung Karno adalah: reformisme, amuk-amukan zonder (tanpa) fikiran, anarcho syndikalisme, dan penyelewengan ke arah perbuatan atau fikiran cap mata gelap.

Partai pelopor juga harus memerangi sikap kekirian desosial, yaitu sikap kekiri-kirian yang didasarkan pada nafsu dan amarah belaka, bukan pada pertimbangan analisa dan perhitungan yang tepat terhadap keadaan. Ini mirip dengan konsep Lenin tentang “kiri kekanak-kanakan”.
Apa pekerjaan Partai Pelopor?

Pertama, mengolah kemauan massa dari onbewust (belum sadar) menjadi kemauan massa yang bewust (sadar). Bentukan dan konstruksi perjuangan, kata Bung Karno, harus diajarkan kepada massa dengan jalan yang gampang dimengerti dan mudah masuk dalam alam fikiran dan akal semangatnya.

Partai pelopor harus memberi keinsyafan kepada massa rakyat tentang apa sebabnya mereka sengsara, apa sebabnya kapitalisme dan imperialisme bisa merajalela, apa sebabnya harus menuju jembatan Indonesia merdeka, bagaimana jembatan itu dicapai, dan bagaimana membongkar akar-akarnya kapitalisme.

Untuk itu, kata Bung Karno, selain menjalankan pendidikan dan kursus politik kepada massa, partai pelopor juga harus punya majalah dan selebaran yang bertebaran seperti daun jati di musim kemarau. Selain itu, lanjut Soekarno, aksi massa harus dibuat beruntun-runtun seperti ombak samudera.

Kedua, partai pelopor harus mengobarkan keberanian massa untuk bangkit berjuang; memerangi segala bentuk reformisme yang menipu massa.
Untuk itu, kata Bung Karno, partai pelopor mendidik massa dengan keinsyafan yang dibarengi dengan pengalaman-pengalaman langsung (ervaringen). Pengalaman-pengalaman inilah yang akan membuka mata massa mengenai kebohongan-kebohongan dan kekosongan taktik reformisme.

Oleh karena itu, partai pelopor harus mampu mengolah dan memperkaya pengalaman perjuangan massa dari hari ke hari; menyuluhi massa sambil berjuang di tengah-tengah massa. Dalam perjuangan itu, partai pelopor harus selalu mengarahkan pandangan massa pada tujuan: melikuidasi imperialisme dan kapitalisme via jembatan Indonesia merdeka.

Lantas bagaimana dengan perjuangan kecil-kecil (ekonomisme)? Menurut Bung Karno, perjuangan untuk aksi dan hasil kecil-kecilan tidak boleh ditinggalkan. Perjuangan kecil-kecilan, atau perjuangan sehari-hari, harus diletakkan dalam kerangka mengolah stridjvaardigheid (kemahiran berjuang) massa.
Perjuangan sehari-hari, kata Soekarno, adalah suatu schooling, suatu training, suatu gemblengan tenaga menuju perjuangan yang lebih besar.

Bung Karno mengutuk keras sikap pemimpin pergerakan yang mengatakan: biarkanlah marhaen sengsara dulu, biarkan mereka sampai megap-megap, supaya gampang diagitasi dan digerakkan! Bung Karno menyebut pemimpin semacam ini sebagai pemimpin bejat alias penghianat.
Bung Karno mengatakan: “radikalisme massa tidak bisa lahir dengan kesengsaraan saja, tidak bisa subur dengan kemelaratan saja. Radikalisme massa lahir dari perkawinannya kemelaratan massa dengan didikan massa; perkawinannya kemelaratan massa dengan perjuangan massa!”

Karena itu lahirlah pekerjaan partai pelopor yang ketiga: mengadakan propaganda dimana-mana, mengadakan perlawanan dimana-mana, mendirikan anak organisasi di mana-mana, mendirikan vakbond-vakbond (serikat buruh) dimana-mana, mendirikan serikat tani dimana-mana.

Bung Karno, yang banyak belajar dari partai sosial demokrat di Jerman, tidak menolak pembangunan badan ekonomi dan sosial, seperti pembangunan koperasi, warung, rumah anak yatim piatu, dan lain-lain. Asalkan: pekerjaan badan ekonomi dan sosial itu tidak sekedar pekerjaan sosial ansich. Oleh karena itu, badan ekonomi dan sosial semacam itu harus menjadi pusat pendidikan kaum radikal, alat untuk mendorong lahirnya politik massa aksi.

Demikianlah pokok-pokok pemikiran Bung Karno mengenai partai pelopor, yang jika ditelusuri dengan mendalam, banyak mengambil juga konsep Vladimir Illich Lenin, Marxis yang besar itu.

KUSNO
Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20120210/bung-karno-dan-konsep-partai-pelopor.html#ixzz2ZFdfqa7N 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar