Jumat, 29 Juli 2011

Soekarno Bukan Pembelah dan Ajaran Nasionalismenya Masih Relevan!

Soekarno Bukan Pembelah dan Ajaran Nasionalismenya Masih Relevan!

BERDIKARI ONLINE, Jumat, 29 Juli 2011 | 6:19 WIB

Opini
Oleh : Rudi Hartono
Bung Karno Pidato Di Hadapan Massa Rakyat

Sebuah tanggapan terhadap tulisan Max Lane, “Soekarno: Pemersatu Atau Pembelah?”
Max Lane, seorang indonesianis dari University of Sydney, Australia, menulis sangat baik tentang Bung Karno dan gagasan-gagasan politiknya. Salah satu tulisannya yang terbaru diberi judul “Soekarno: Pemersatu Atau Pembelah.”
Artikel itu membongkar satu keyakinan umum orang-orang Indonesia dan sebagian penulis dari luar: Soekarno sebagai tokoh pemersatu. Ternyata, setelah menyelami tulisan Bung Karno yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, Max Lane menemukan bahwa Bung Karno juga adalah pembelah.
Selain itu, jika anda tuntas membaca artikel itu, maka pesan utama yang hendak disampaikannya hanya satu hal: nasionalisme sebagai ideologi perlawanan sudah tidak relevan. Alasannya, nasionalisme berseru buat semua elemen bangsa untuk satu kepentingan yang sama, sedangkan fakta menunjukkan bahwa jarang sekali elemen-elemen sebuah bangsa mempunyai kepentingan yang sama: Yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya.
Saya tidak setuju dengan kesimpulan itu. Lagi pula, tanpa sebuah elaborasi yang memadai, Max Lane tiba-tiba mengajak kita untuk sampai pada kesimpulan yang masih memerlukan perdebatan panjang.

‘Membelah Demi Persatuan?’

Salah satu rujukan Max Lane dalam membangun argumentasinya adalah tulisan Bung Karno yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Menurutnya, orang yang menganggap tulisan itu mengusung persatuan adalah orang yang berfikiran dangkal dan menyesatkan.
Sebaliknya, bagi Max Lane, tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya adalah tulisan pembelahan, bukan penyatuan. Max menyebut Bung Karno Sukarno ‘membelah demi sebuah persatuan’. Sebuah kalimat yang kontradiktif.
Argumentasi pokok Max Lane, kalau boleh saya sederhanakan, adalah bahwa tulisan Bung Karno itu menuntut setiap golongan (nasionalis, islamis, dan Marxist) untuk memilih: bersatu atau tidak. Hanya saja, lanjut Max, landasan untuk bersatu itu bukan hanya Indonesia Merdeka, tetapi analisa terhadap dan sikap anti-kapitalis.
Artinya: Soekarno mengajak setiap golongan nasionalis, islamis, dan Marxist untuk bersatu atas dasar Indonesia merdeka dan sekaligus anti-kapitalis.
Di sinilah letak masalahnya: Max Lane terkesan memaksakan bahwa basis persatuan yang dikehendaki Bung Karno adalah persatuan untuk Indonesia merdeka dan sekaligus anti-kapitalisme (asing dan bangsa sendiri).
Ini gampang dijelaskan secara teoritis, tetapi sulit diterapkan dalam aplikasi strategi politiknya. Soekarno berseru untuk persatuan demi pelipatgandaan kekuatan melawan kolonialisme, sedangkan kecenderungan kesimpulan Max adalah politik mengisolasi perjuangan nasional menjadi segelintir “anti-kapitalis”.
Pertanyaannya: Apa mungkin mencapai Indonesia merdeka dengan mengandalkan persatuan segelintir orang, dalam hal ini kalangan anti-kapitalis ansich, untuk melawan musuh dari luar (kolonialis) dan sekaligus musuh dari dalam (feodalisme dan kapitalisme)?

Beberapa Ketidaksetujuan

Menurut saya, ada beberapa kekeliruan mendasar yang dilakukan Max Lane dalam tulisannya.
Pertama, penggunaan kata “pembelah” kurang tepat, sebab istilah itu hampir dekat dengan kata “pecah-belah”, sebuah politik yang dipergunakan kolonialisme untuk menancapkan kukunya selama ratusan tahun di Indonesia.
Kedua, Soekarno dalam tulisan itu memang menganjurkan pemilahan, menyuruh setiap golongan memilih, tetapi pilihannya adalah: bersatu atau terpecah-belah. Di sini, Soekarno mengajak ketiga kekuatan untuk bersatu mencapai Indonesia merdeka. Jelas sekali, sebagaimana juga dalam tulisannya lainnya, Soekarno selalu menekankan perjuangan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka.
Ketiga, Max mengabaikan konteks situasi saat lahirnya tulisan itu.

Terkait konteks situasi itu, ada beberapa hal yang patut dicatat sebelum kelahiran kelahiran tulisan Bung Karno itu:
Pada jaman itu, di hampir seluruh Asia termasuk Indonesia, tiga kekuatan itu (nasionalis, islamis, dan marxis) tampil menonjol sebagai azas pergerakan melawan kolonialisme.
Bung Karno sendiri menulis:
    “….tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha-besar dan maha-kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya..”
Tiga kekuatan itu sama-sama dimulutnya anti-kolonialisme, tetapi, pada lapangan politik, ketiganya sulit sekali bersatu. Satu contoh paling maju adalah pembentukan konsentrasi radikal 1918 guna melawan Volksraad. Sekalipun berhasil menyatukan berbagai spectrum politik nasional, termasuk yang moderat sekalipun, tetapi persatuan ini tidak bertahan lama.
Kemudian, Bung Karno juga menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri keretakan dan saling serang di kalangan pergerakan pembebasan nasional itu sendiri. Dalam tahun 1921, di dalam Sarekat Islam (SI), organisasi politik terbesar saat itu, telah terjadi perpecahan yang tak terhindarkan. Para pemimpin sayap kanan (SI putih) telah berhasil memaksa keluar pengikut-pengikutnya yang kiri (SI-merah)—yang sangat dipengaruhi oleh ISDV/PKI.

Pemuda Bung Karno juga menyaksikan bagaimana gurunya, Tjokroaminoto, diserang secara pribadi oleh Haji Misbach, tokoh haji merah yang berfikiran radikal dan anti-kolonial. Dalam kongres PKI itu, pemuda Bung Karno berdiri dan meminta Haji Misbach untuk meminta maaf.

Penekanan Pada Perjuangan Nasional

Pada bagian lainnya tulisannya, Max juga menulis begini: “dengan menyatakan bahwa Indonesia Merdeka adalah prioritas tidak ada pelunturan sedikit pun dengan tekanannya pada diteruskannya propaganda anti-kapitalis.”
Secara sepintas lalu, tidak ada masalah dengan argumen itu. Tapi, ketika diterjunkan ke dalam strategi politik, baik saat itu maupun saat ini, akan tetap muncul masalah; bisakah kita mencapai Indonesia merdeka dan sekaligus merobohkan kapitalisme? Bisakah itu berjalan secara sekaligus?
Soekarno, dalam tulisan “Kapitalisme Bangsa Sendiri”—yang juga dikutip separuhnya saja oleh Max Lane—berkata:
    “Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita dalam perjuangan kita mengejar Indonesia-merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional.”
Jadi, dalam pemikiran Soekarno, sekalipun ia konsisten anti-kapitalis, tetapi tetap ada ‘penekanan’ terhadap perjuangan nasional. Ini adalah persoalan strategi politik, yaitu bagaimana menggabungkan kekuatan nasional yang anti-penjajahan untuk selekas-lekasnya mencapai Indonesia merdeka.
Kenapa mendahulukan perjuangan nasional? Soekarno punya analisa menarik untuk menjawab pertanyaan semacam ini. Dalam tulisan “Kapitalisme Bangsa Sendiri”, Soekarno menceritakan mengapa perjuangan kelas cocok untuk eropa saat itu, tetapi tidak cocok untuk negara jajahan seperti Indonesia.

Kata Soekarno, dua golongan yang bertentangan di eropa, yaitu pemodal versus buruh, berasal dari dari satu bangsa, satu kulit, satu ras. Kaum buruh dan pemodal berasal dari satu natie. “Karena itulah maka disesuatu negeri yang merdeka antithese tadi tidak mengandung rasa atau keinsyafan kebangsaan, tidak mengandung rasa atau keinsyafan nasional, tetapi adalah bersifat zuivere klassenstrijd, –perjuangan klas yang melulu perjuangan klas,” kata Soekarno.
Tetapi, di negara jajahan seperti Indonesia saat itu, menurut Bung Karno, yang “menang” dan yang “kalah”, yang “diatas” dan yang “dibawah”, yang menjalankan kapitalisme dan yang dijalani kapitalisme, adalah berlainan darah, berlainan kulit, berlainan natie , berlainan kebangsaan. Antithese didalam negeri jajahan adalah “berbarengan” dengan antithese bangsa, –samenvallen atau coїnsederen dengan antithese bangsa. Antithese didalam negeri jajahan adalah, oleh karenanya, terutama sekali bersifat antithese nasional.”
Di sini, Soekarno menjelaskan perjuangan nasional sebagai prasyarat atau tahapan menuju perjuangan selanjutnya. Penuntasan perjuangan nasional itu mutlak diperlukan sebagai basis atau material untuk perjuangan selanjutnya.

Nasionalisme Tidak Relevan?
Di bagian akhir tulisannya Max Lane menulis begini: “nasionalisme berseru buat semua elemen bangsa untuk satu kepentingan yang sama, sedangkan fakta menunjukkan bahwa jarang sekali elemen-elemen sebuah bangsa mempunyai kepentingan yang sama: Yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya.”

Dari situlah Max Lane mengambil kesimpulan bahwa nasionalisme tidak relevan.
Saya rasa, sebelum memvonis relavan dan tidaknya, ada baiknya melihat dua kecenderungan nasionalisme: nasionalisme negara-negara kapitalis maju dan nasionalisme negara-negara jajahan (semi-kolonial).
Ini penting, karena seperti kita ketahui, Soekarno pun membedakan antara nasionalisme borjuis di eropa dan nasionalisme yang dianut oleh pejuang anti-kolonial di dunia ketiga: Gandhi dan Sun Yat Sen.

Terkait dengan dua bentuk nasionalisme itu, ada baiknya kembali melihat fikiran Bung Karno. Katanya, nasionalisme di eropa itu nasionalisme borjuis, yaitu suatu ‘nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi’. Sedangkan nasionalisme Indonesia, yang disebutnya sosio-nasionalisme, adalah nasionalisme masyarakat atau nasionalisme yang mencari keberesan dalam kepincangan masyarakat, sehingga tidak ada lagi kaum yang sengsara dan ditindas. (Baca selengkapnya di Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, buku DBR I).

Dalam perkembangan terbaru, misalnya pertemuan G-20 tahun lalu, terlihat jelas bahwa nasionalisme telah menjadi langgam baru kapitalisme global. Negara-negara kapitalis maju berbicara “kepentingan nasional” untuk kepentingan ekonomisnya: perdagangan dan ekspansi pasar. Sedangkan negara dunia ketiga juga berbicara nasionalisme sebagai bentuk pertahanan terhadap serbuan tersebut (proteksionisme, dll).

Dalam era neoliberal sekarang ini, penghancuran negara nasional justru menjadi proyek kaum neoliberalis, sebagai prasyarat untuk menjalankan agenda mereka. Sebaliknya, sebagai bentuk melawan dominasi neoliberal, beberapa bentuk gerakan anti-neoliberal mempergunakan sentimen ‘penguatan peran negara nasional’ khususnya dalam urusan kesejahteraan rakyat.
Jika ditanyakan, apakah nasionalisme masih relevan? Maka jawab saya: Sangat relavan.
Dimana relevansinya dengan situasi sekarang? Menurut saya, dalam perjuangan melawan imperialisme saat ini, tidak bisa tidak perjuangan kita mengambil karakter perjuangan nasional atau revolusi nasional. Karena, dalam negara terjajah seperti Indonesia, sangat sulit berbicara revolusi anti-kapitalis, sementara ekspresi penindasannya sebagian besar karena eksploitasi dari luar.
Terhadap pertanyaan ini, saya mengutip pidato Njoto sebagai berikut: “Fasensprong (faham melompat) tidak mau tahu akan revolusi nasional dan demokratis. Fasensprong mau langsung ke sosialisme, sekalipun syarat-syarat untuknya belum tersedia. Fasensprong mengobrak-abrik pengusaha-pengusaha nasional dan pengusaha-pengusaha kecil, tetapi membiarkan pengusaha-pengusaha imperialis seperti BPM-Shell, Stanvac, Caltex dan Unilever. Mereka lebih hebat daripada “sosialisme dengan kemiskinan” – mereka mau “sosialisme dengan imperialisme”!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar