Senin, 27 Juni 2011

MPR DAN PEMERINTAH HARUS MENGAKUI KESALAHAN TINDAKAN REJIM SUHARTO TERHADAP BUNG KARNO


MPR DAN PEMERINTAH HARUS MENGAKUI KESALAHAN TINDAKAN REJIM SUHARTO TERHADAP BUNG KARNO
(Memperingati 41 Tahun Hari Wafatnya Bung Karno)

Oleh MD Kartaprawira*

Pada tgl 21 Juni 2011 adalah ultah ke-41 wafatnya Bung Karno, seorang proklamator kemerdekaan bangsa indonesia, pendiri negara RI, yang selama hayatnya berjuang untuk terwujudnya cita-cita masyarakat indonesia yang adil dan makmur, bebas dari nekolim dan neoliberalisme. Tanggal 21 Juni inilah ingatan kita tergugah oleh dua fragment sejarah politik Indonesia, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Dua fragment sejarah politik inilah yang mengakibatkan timbulnya bencana besar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang sampai dewasa ini masih terus berlangsung dan berkembang dan sukar mengatasinya. Sebab rejim orde baru dibawah jenderal Suharto inilah yang mengorbankan Indonesia menjadi negara jajahan model baru di bawah cengkeraman kaum nekolim dan neoliberalisme. Berikut ini dua fragmen sejarah politik tersebut.

Pertama - Kudeta merayap Suharto terhadap Pemeruntah Soekarno.
Kekuasaan orde baru yang didirikan jenderal Suharto adalah hasil kudeta merayap terhadap pemerintah syah Soekarno, yang sedang dalam perjuangan berat berkonfrontasi melawan nekolim. Dengan kegagalan gerakan 30 September (G30S) yang dipimpin letkol Untung, jenderal Suharto mulai melaksanakan skinarionya untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno dengan menggunakan gerakan massa KAPI, KAMI, KASI yang mendapat restu kaum nekolim. Bung Karno dalam kondisi terjepit pada tanggal 11 Maret 1966 terpaksa memberikan surat kuasa untuk pemulihan keamanan - “Supersemar” (Surat Perintah Sebelas Maret) kepada jenderal Suharto. Tetapi Suharto menyalah gunakan surat Supersemar tersebut sebagai surat penyerahan kekuasaan pemerintahan. Hal ini oleh Bung Karno dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966 ditolak dengan tegas: “ Supersemar bukan penyerahan kekuasaan pemerintahan/negara”. Meskipun demikian, selain dia tidak menggubris sama sekali penolakan presiden, sebaliknya melakukan pat-pat-gulipat dengan jenderal Nasution (Ketua MPRS-Orba) sehingga Supersemar oleh MPRS berhasil “disahkan” menjadi Ketetapan MPRS No. IX/1966. Dengan demikian Bung Karno tidak bisa lagi mencabut kembali surat perintah tersebut. Tahap selanjutnya adalah pencabutan fungsi Soekarno sebagai presiden dengan TAP MPRS No.XXXIII/1967 setelah pertanggung jawabannya ditolak oleh MPRS.
Demikianlah secara singkat kilas balik jalannya kudeta merayap Suharto dan naiknya ke tahta kekuasaan diktator militer fasis Suharto di Indonesia selama 32 tahun, sebagai usaha melawan lupa dalam rangka memperingati hari wafatnya Bung Karno. Di dalam tulisan ini sengaja tidak diadakan analisis yuridis dan politis secara rinci, sebab sudah banyak ditulis di media massa.

Kedua – Penahanan tak-manusiawi terhadap Bung Karno sehingga wafat.
Sebagai prakata topik kedua ini, persilahkan kami memberi penjelasan tentang Bulan Soekarno.
Benarlah dikatakan bahwa bulan Juni adalah “Bulan Soekarno”, sebab di bulan Juni Bung Karno dilahirka (6-6-1901), Pancasila dilahirkan oleh Bung Karno melalui pidatonya di Sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) tanggal 01-06-1945, dan Bung Karno wafat pada tanggal 21-06-1970 sebagai korban kudeta dan penapolan oleh jen. Suharto .
Sudah menjadi tradisi rakyat Indonesia setiap tanggal 06 Juni memperingati hari ulang tahun kelahiran Bung Karno. Sebab rakyat Indonesia merasa berhutang budi dan perlu melakukan penghormatan atas lahirnya bapak Bangsa Indoneia yang seluruh hidupnya dipersembahkan untuk perjuangan terbentuknya negara Indonesia Merdeka bebas dari nekolim (neokolonialisme, kolinialisalime, imperialisme) baik di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan.
Sudah menjadi tradisi pula bagi bangsa dan negara Indonesia setiap tanggal 01 Juni memperingati hari lahirnya Pancasila, yang diciptakan oleh Bung Karno dari hasil galian-galian yang terkandung dalam bumi peradaban Indonesia dan yang kemudian Pancasila tersebut menjadi Dasar Negara, filsafat negara Indonesia
Tetapi tanggal 21 Juni 1970, hari wafatnya Bung Karno tidak banyak orang mengetahui, apalagi kaitan latar belakang politiknya. Sejatinya dalam tanggal tersebut tersembunyi kisah sejarah yang tidak kalah tinggi nilai hikmahnya dari hari-hari peringatan Bung Karno tersebut di atas apabila kita merenungkannya. Ketika Rapat Paripurna DPR tanggal 21 Juni 2011 akan dibuka seorang anggota DPR dari PDIP Hendrawan Supraktikno melakukan interupsi, yang mengusulkan untuk mengheningkan cipta sejenak bagi Bung Karno. Inilah untuk pertama kalinya di DPR dilakukan pengheningan cipta untuk mengenang wafatnya Bung Karno. Tentu hal tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada interupsi. Salut untuk Sdr. Hendrawan Supratikno.

Seperti kita ketahui Bung Karno setelah dikudeta oleh Suharto, kemudian dijadikan tahanan politik (tapol). Ternyata tindak kekejaman orde baru tidak hanya berwujud pembantaian jutaan warga dan penahanan ribuan warga tak berdosa, tapi juga berwujud penapolan tak manusiawi terhadap Bung Karno yang sedang mengidap sakit ginjal parah – tanpa diberi perawatan semestinya. Bahkan Bung Karno tidak dapat dikunjungi secara normal oleh keluarganya. Kalau dibandingkan dengan perawatan terhadap Suharto ketika sakit, tampak seperti langit dengan bumi. Bagi Suharto dilakukan perawatan di rumah sakit mewah yang memiliki peralatan modern dan obat-obatan serba ada.Tapi bagi Bung Karno sebagai tahanan politik mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi, serba ketat dibatasi. Bahkan permintaan Bung Karno agar didatangkan tukang pijat saja ditolak, demikian Bung Hatta dengan sedih mengenangnya. Begitu tidak manusiawinya Suharto terhadap tapol Soekarno ketika dia ditanya Bung Karno: “Saya mau kau apakan”, dijawabnya dengan sinis oleh Suharto: “Mikul dhuwur, mendhem jero” (memikul tinggi-tinggi, mengebumikan dalam-dalam – PS: dalam kaitannya dengan meninggalnya orang tua). Kalimat bersayap tersebut seharusnya mengandung makna yang luhur, suatu simbolis bahwa seorang anak berkewajiban memuliakan orang tuanya. Tetapi ketika diucapkan oleh Suharto terhadap Bung Karno yang sedang sakit parah dalam isolasi tahanan, kalimat tersebut bermakna ejekan rendah, yang menghendaki agar Bung Karno segera menemui ajalnya. Tidak salah kalau masyarakat berpendapat, bahwa memang ada rekayasa untuk menghabisi hayat Bung Karno agar kekuasaan Orba, hasil kudeta-merayapnya berjalan mulus tanpa hambatan apa pun. Inilah kejahatan kemanusiaan oleh penguasa negara rejim orde baru Suharto terhadap Bung Karno! Inilah pelanggaran HAM berat Suharto dan rejimnya terhadap Bung Karno!
Singkat kata, dua fragmen sejarah politik tersebut di atas telah terbukti mengakibatkan Indonesia dicengkeram kaum nekolim-neoliberalisme dan Indonesia hancur terpuruk di segala bidang kehidupan.

Belum lama ini (1 Juni 2011) di Gedung DPR/MPR diadakan “Peringatan Hari Pidato Bung Karno I Juni 1945” di mana Habibie (Presiden ke 3), Megawati Soekarnoputri (Presiden ke 4) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden ke 5) telah mengucapkan pidato kebangsaan. Mereka semuanya memberikan uraian mengenai jasa-jasa Bung Karno bagi bangsa dan negara Indonesia. Tapi tidak disinggung dua fakta sejarah hitam tentang kudeta Suharto dan perlakuan kejam tak manusiawi rejim orde baru terhadap Bung Karno sebagai founding father dan presiden syah RI. Mengapa dalam peringatan 1 Juni hal tersebut tidak disinggung, pada hal langsung/tak langsung bertentangan dengan Pancasila? Demi kejujuran terhadap rakyat seharusnya hal tersebut diungkap. Dan demi kebenaran dan keadilan seharusnya ditunjukkan apa yang akan dilakukan negara terhadap Soekarno (alm.) sebagai korban kejahatan politik dan sebagai korban kejahatan kemanusiaan/HAM.

Apa yang dilakukan rejim Suharto terhadap Bung Karno tersebut adalah atas nama negara, yang karenanya menjadi tanggung jawab negara pula. Kita semua maklum bahwa tidak ada Negara Suharto, Negara Habibie, Negara Megawati, dan Negara SBY. Hanya ada satu Negara Indonesia – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi karena rejim Suharto dan Suharto sendiri sudah tidak ada, maka tanggung jawabnya menjadi tanggungan pemerintah /penyelenggara negara yang ada sekarang ini. Berhubung dengan itu Pemerintah dan MPR harus secara resmi mengakui kesalahan tindakan politik rejim Suharto terhadap Soekarno, baik sebagai presiden maupun sebagai tapol. Setelah itu melakukan langkah-langkah moral dan politik demi kebenaran dan keadilan bagi Bung Karno dan demi pelurusan sejarah. Sedang dari para pendukung Suharto dalam penggulingan Presiden Soekarno rakyat menunggu keterbukaan hati nurani mereka, ataukah akan tetap membisu tentang kebenaran dan keadilan?

Nederland, 21 Juni 2011

*) Sekretaris Korwil PDI Perjuangan Nederland
Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65), Nederland 

Selasa, 21 Juni 2011

INTERUPSI UNTUK BUNG KARNO


 
22 Juni 2011 | BP
Interupsi Untuk Bung Karno
Jakarta (Bali Post) -

Rapat paripurna DPR, Selasa (21/6) kemarin, sempat hening sejenak untuk mengenang jasa Proklamator yang juga Presiden pertama RIIr. Soekarno. Momen ini diawali oleh sebuah interupsi anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno. 

Hari ini tanggal 21 Juni merupakan hari wafatnya Bung Karno. Sang Proklamator dan tokoh besar yang dimasa muda masuk-keluar penjara. Mari membangun tradisi menghargai tokoh bangsa. Akan sangat berbahagia bila kita bangkit sejenak mengenang jasa pendiri yang telah mencurahkan hidupnya untuk negara, kata Hendrawan dalam interupsinya.

Dia kembali mengingatkan pada 1 Juni lalu pada acara peringatan 65 tahun pidato Bung Karno tentang Pancasila yang digelar MPR, dua mantan Presiden sudah berpidato yakni Megawati Soekarnoputri dan BJ Habibie dan Presiden RI saat ini Susilo Bambang Yudhoyono. Pidato tiga tokoh nasional itu sangat menggugah dan inspiratif. Momen itu merupakan tradisi yang sangat patut dihargai, imbuhnya.
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso selaku pimpinan rapat paripurna mengamini interupsi Hendrawan. Bung Karno adalah Putera Sang Fajar, putera terbaik bangsa Indonesia yang telah melahirkan putera-putera terbaik bangsa, kata Priyo.

Pimpinan pun berdiri sambil meminta 328 anggota yang hadir dari 560 anggota DPR-RI yang ada bersama sejumlah menteri yang hadir saat itu untuk bersedia mengheningkan cipta. Interupsi Hendrawan seolah menyegarkan ingatan kepada semua pihak bahwa 41 tahun yang lalu, pada 21 Juni Bung Karno wafat di Jakarta setelah menderita komplikasi berbagai penyakit. Bung Karno kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.(kmb4)

Minggu, 12 Juni 2011

PIDATO KEBANGSAAN MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANCASILA




PIDATO KEBANGSAAN

MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANCASILA 


Megawati Soekarnoputri



PIDATO KEBANGSAAN MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA PANCASILA
Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Om Swasti Astu,
Perkenankanlah saya menyampaikan salam nasional Indonesia.
Merdeka!!!
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa ta’ala atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga pada hari ini, kita dapat berkumpul di gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia guna memperingati 66 Tahun Pidato Bung Karno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945 atau yang kita kenal sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Peringatan ini sungguh menggembirakan bagi saya, bukan hanya dalam kapasitas sebagai Presiden Republik IndonesiaKelima, ataupun sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, namun juga sebagai seorang warga yang mencintai Bangsanya. Mengapa? 

Karena di tengah-tengah krisis ideologi yang melanda bangsa ini, dan di tengah kegamangan kita melihat masa depan, Pancasila kembali menghadirkan diri sebagai pelita besar bagi kita semua. Sebagai salah satu bukti bahwa Pancasila mampu tetap menjadi perekat bangsa yaitu pergantian kekuasaan pada periode 1998 – 2004, dimana terjadi 4 (empat) kali pergantian kepemimpinan nasional tetapi Bangsa Indonesia tetap bersatu, sama halnya dengan apa yang terjadi masa-masa krisis yang lalu, Pancasila hadir sebagai solusi kebangsaan.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Berbicara tentang Pancasila, tidak bisa tidak kita mesti berbicara tentang Bung Karno, bukan karena beliau Bapak Saya, tetapi justru sebagai penggali Pancasila dan sekaligus sebagai Proklamator Bangsa. Karena itulah, dengan penuh kerendahan hati, saya ingin mengajak setiap warga bangsa, terutama para pemimpin bangsa untuk mengkontemplasikan rentang panjang benang merah alur pikiran Bung Karno melalui perjuangan yang dilakukan sejak Beliau masih muda, termasuk ketika di penjara dan dibuang ke pengasingan.
Dialektika perjuangan politik dan pemikiran ideologis Bung Karno telah muncul sejak berusia lima belas tahun ketika bersekolah di HBS Surabaya dan tinggal di rumah tokoh pergerakan nasional HOS Tjokroaminoto. Eksistensi Beliau sebagai pemikir pejuang dan pejuang pemikir tidak pernah berhenti, meskipun telah berulangkali di buang, keluar masuk penjara sebagai tahanan politik Belanda dan Jepang, antara lain di penjara Sukamiskin, Bandung (1929-1931); ke Ende, Flores (1934-1938); ke Bengkulu (1938); ke Berastagi dan Prapat, Sumatera (1948); ke Mentok, Bangka (1949) bersama para tokoh pejuang bangsa lainnya.
Saudara-saudara sekalian,
Perjuangan panjang disertai pemikiran yang berakar dari sanubarinya rakyat Indonesia, bukan datang begitu saja, tetapi seperti yang saya katakan sebelumnya, maka gagasan dari sebuah bangsa merdeka dan bagaimana kehendak menjadikan sebuah bangsa itu untuk merdeka, telah lama dipikirkan oleh Bung Karno. Hal ini nampak, ketika Bung Karno menyampaikan pledoi yang sangat legendaris di hadapan pemerintah kolonial, yang dikenal dengan Indonesia Menggugat.Dengan demikian, menarik benang merah dari keseluruhan gagasan Bung Karno, sangatlah penting dan merupakan keharusan bahwa Pancasila itu tidak bisa dilepaskan dalam kesejarahan dengan Bung Karno. Penegasan ini diperlukan untuk menghindarkan bangsa ini dari cara berpikir instan, bahkan seolah-olah mengandaikan Pancasila sebagai produk sekali jadi, yang jauh dari proses perenungan dan steril dari dialektika sejarah panjang masyarakat Indonesia.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, BPUPK telah melaksanakan sidang yang pertama kalinya, dengan agenda membahas tentang Beginsel atau Dasar dari sebuah Negara Indonesia Merdeka yang hendak didirikan. Marilah kita mencoba merenungkan, mengapa Bung Karno dapat menguraikan dasar Indonesia Merdeka tersebut secara lisan dengan baik dan lancar. Hal ini sesuai kesaksian Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPK dalam Kata Pengantar buku “Lahirnya Pancasila” tahun 1947, “Buku Lahirnya Pancasila ini adalah buah stenografisch verslag dari Pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis dahulu dalam sidang pertama pada tanggal 1 Juni 1945 ketika sidang membicarakan “Dasar Negara kita”, sebagai penjelmaan dari angan-angannya. Sudah barang tentu kalimat-kalimat sesuatu pidato yang tidak tertulis dahulu, kurang sempurna tersusunnya. Tetapi yang penting ialah ISINYA!”
“Bila kita pelajari dan selidiki sungguh-sungguh Lahirnya Pancasila, ternyata ini adalah suatu Demokratisch Beginsel, suatu Beginsel yang menjadi dasar Negara kita, yang menjadi dasar hukum ideologi Negara kita; suatu Beginsel yang meresap dan berurat akar dalam jiwa Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan, meskipun sidang ada di bawah ancaman yang keras dari Pemerintah Balatentara Jepang. Memang jiwa yang berhasrat merdeka, tak mungkin dikekang-kekang”.
Saudara-saudara sekalian,
Prof. Mr. Drs. Notonagoro, Guru Besar Universitas Gajah Mada pada saat Pidato pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Bung Karno, tanggal 19 September 1951 di Yogyakarta. Beliau mengatakan bahwa pengakuan terhadap Bung Karno sebagai Pencipta Pancasila dan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila bukan terletak pada urut-urutan sila Pancasila, yang berbeda dengan urutan sila Pancasila yang terdapat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Pengakuan yang diberikan justru terletak dalam asas dan pengertiannya yang tetap sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Bukan pada bentuk formilnya, akan tetapi sifat materiil yang dimaksudkannya
Penjelasan tersebut hendaklah dapat kita jadikan pegangan bahwa peringatan Hari Lahir Pancasila ini bukannya untuk merubah sila-sila Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang telah kita sepakati dengan final sebagai Konstitusi Negara Indonesia, tetapi justru untuk memberikan makna filosofis akan sifat materiil dari Pancasila itu sendiri.
Saudara-saudara,
Penerimaan atas pidato 1 Juni 1945 oleh keseluruhan anggota BPUPK sangat mudah dimengerti. Hal ini bukan saja karena intisari dari substansi yang dirumuskan Bung Karno memiliki akar yang kuat dalam sejarah panjang Indonesia, tapi nilai-nilai yang melekat di dalamnya melewati sekat-sekat subyektivitas dari sebuah peradaban dan waktu. Oleh karenannya, Pancasila dengan spirit kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945 bukan sebatas konsep ideologis, tetapi ia sekaligus menjadi sebuah konsep etis. Pesan etis ini terlihat jelas, dalam pelantikan Menteri Agama, tanggal 2 Maret 1962, Bung Karno memberikan wejangan pada KH. Saifuddin Zuhri yang menggantikan KH. Wahib Wahab sebagai Menteri agama, ”Saudara adalah bukan saja tokoh dari masyarakat agama Islam, tetapi saudara adalah pula tokoh dari bangsa Indonesia seluruhnya.....” Pesan etis ini menjadi sangat penting guna mengakhiri dikotomi Nasionalisme dan Islam yang telah berjalan lama dalam politik Indonesia.
Demikian juga, Pancasila pernah disalahtafsirkan semata-mata sebagai konsep politik dalam kerangka membangun persatuan nasional. Padahal persatuan nasional yang dimaksudkan oleh Bung Karno adalah untuk menghadapi kapitalisme dan imperialisme sebagai penyebab dari ”kerusakan yang hebat pada kemanusiaan”. Kerusakan yang hebat pada kemanusiaan tersebut pernah disampaikan oleh Bung Karno sebagai manusia abad 20. Kita berada di abad 21, dan terbukti, bahwa apa yang diprediksikan ternyata sangat visioner dan jauh kedapan, kini menjadi kebenaran dan fakta sejarah.
Saudara-saudara,
Dari sinilah kita mengerti, suatu alur pikir Bung Karno yang lain, yang digagas melalui perjuangan untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Apakah cita-cita di atas terlampau naif untuk dicapai bangsa ini? Salahkah jika sebagai bangsa memiliki cita-cita agar berdaulat secara politik? Saya ingin menegaskan: rasanya tidak! Bukankah sekarang kita rasakan kebenarannya, bahwa dalam mencukupi kebutuhan pangan, energi, dan didalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, kita merasa tidak lagi berdaulat?
Karena itulah, hal yang lebih penting melalui peringatan Pancasila 1 Juni ini bukanlah terletak pada seremoni acara, tetapi kita letakkan pada hikmah dan manfaat bagi bangsa kedepan untuk menghadapi berbagai tantangan jaman yang kian hari semakin kompleks.
Bagi saya peringatan kali ini mestinya merupakan jalan baru, jalan ideologis untuk mempertegas bahwa tidak ada bangsa yang besar yang tidak bertumpu pada ideologi yang mengakar pada nurani rakyatnya. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, Amerika, Inggris, dan RRT, menemukan kekokohannya pada fondasi ideologi yang mengakar kuat dalam budaya masyarakatnya. Sebab ideologi menjadi alasan sekaligus penuntun arah sebuah bangsa dalam meraih kebesarannya. Ideologilah yang menjadi motif sekaligus penjaga harapan bagi rakyatnya. Memudarnya Pancasila di mata dan hati sanubari rakyatnya sendiri, telah berakibat jelas, yakni negeri ini kehilangan orientasi dan harapan. Tanpa harapan negeri ini akan sulit menjadi bangsa yang besar karena harapan adalah salah satu kekuatan yang mampu memelihara daya juang sebuah bangsa. Harapan yang dibangun dari sebuah ideologi akan mempunyai kekuatan yang maha dahsyat bagi sebuah bangsa.
Saudara-saudara,
Guna menjawab harapan di atas, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Sebab Pancasila akan dinilai, ditimbang, dan menemukan jalan kebesarannya melalui perjuangan. Perjuangan setiap pemimpin dan rakyat Indonesia.Perjuangan agar Pancasila menjadi kenyataan. Tanpa itu kita akan terus membincangkan Pancasila, tetapi tidak mampu membumikan dan melaksanakannya hingga akhirnya terlelap dalam pelukan Neokapitalisme dan Neoimperialisme serta Fundamentalisme yang saat ini menjadi ancaman besar bagi bangsa.
Demikian pula, Pancasila tidak akan pernah mencapai fase penerimaan sempurna secara sosial, politik, dan budaya oleh rakyatnya, justru ketika alur benang merah sejarah bangsa dalam perjalanan Pancasila dilupakan oleh bangsanya, dan dipisahkan dengan penggalinya sendiri. Inilah tugas sejarah yang harus diselesaikan.
Demikian pula halnya dengan persoalan sumber rujukan, ketika kita menyatakan Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Pertanyaan bagi kita adalah, ketika para penyelenggara negara dan pembuat UU harus merujuk, dokumen apakah yang bisa digunakan oleh mereka sebagai referensi tentang Pancasila? Pertanyaan yang sangat sederhana, tetapi saya berkeyakinan dalam 13 tahun reformasi, menunjukkan kealpaan kita semua terhadap dokumen penting sebagai rujukan Pancasila dalam proses ketata-negaraan kita.
Saudara-saudara,
Pada bagian akhir pidato ini, saya ingin memberikan apresiasi kepada lembaga MPR RI yang telah berhasil mensosialisasikan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yaitu sosialisasi Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai Konstitusi Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final Negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sistem sosial bangsa Indonesia.
Saya menghimbau kepada segenap bangsa, hendaknya tugas mulia sosialisasi dan institusionalisasi Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab MPR RI, tetapi juga menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga Negara lainnya, baik di tingkat pusat maupun daerah dan juga dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Khusus kepada lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab pada penyelenggaraan sistem pendidikan nasional untuk dapat memastikan kembali agar mata pelajaran ideologi Pancasila dapat diajarkan dengan baik dan benar di setiap jenjang pendidikan anak didik kita.
Sekian, Selamat Memperingati 66 Tahun Hari Lahirnya Pancasila!
Terima kasih
Wassalamualikum Wr Wb.
Merdeka !!!
Megawati Soekarnoputri

Jumat, 10 Juni 2011

Megawati: Pancasila Sudah Ada Dalam Sanubari Tiap WNI



Megawati: Pancasila Sudah Ada Dalam Sanubari Tiap WNI 
 
Kamis, 9 Juni 2011 | 17:22
Megawati Soekarnoputri  

[YOGYAKARTA] Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri menegaskan, keberadaan Pancasila sebagai dasar negara sebenarnya sudah ada dalam hati sanubari setiap warga negara Indonesia (WNI). Jadi, tidak perlu dibicarakan lagi, tapi yang penting adalah pelaksanaannya.


Demikian diutarakan Megawati saat memberikan presidential lecture dalam rangka memperingati hari lahir Pancasila di Universitas Janabadra, Yogyakarta, Kamis (9/6). 
"Pancasila sudah ada dalam sanubari kita sendiri. Hanya saja, suatu saat mengalami pasang naik dan di lain waktu pasang surut," tutur Mega.

Dia berpesan kepada generasi muda mempunyai keyakinan dan kepercayaan diri agar tidak kalah dengan bangsa lain di dunia. Ketikdapercayaan diri bisa berakibat pada kalahnya bangsa Indonesia dalam persaingan dengan bangsa lain.

Megawati menegaskan, pentingnya untuk selalu berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila harus diimplementasikan secara konsekuen.

Megawati juga mengingatkan kepada generasi muda agar jangan sombong dengan pikiran-pikiran ala barat. Karena sebagai bangsa Indonesia tentu memiliki pikiran dan perasaan sendiri. Salah satu yang bisa dilakukan sebagai calon-calon pemimpin bangsa adalah agar kepintaran yang dimiliki bisa diimplementasikan ke seluruh negeri.

"Jadi, untuk mengimplementasikan Pancasila harus konsekuen. Lihat di sanubari kita dulu, apa kita sudah melakukannya," ungkap Megawati.

Dicontohkan sekarang ada yang dinamakan white collar crime atau kejahatan kerah putih. Hal yang terjadi bahwa orang-orang yang pintar, tapi kepintarannya dibuat hanya untuk keuntungan diri sendiri. Oleh karenanya Megawati menyampaikan kepada generasi muda, supaya ada perubahan di dunia maka Pancasila diharapkan dipelajari untuk dijadikan sebagai jalan hidup.

"Kita perlu berpikir kritis, bertindak cepat, dan berkepribadian dalam budaya kita. Kita boleh tahu Mick Jagger,Michael Jackson, dan lainnya, tapi jangan lupa Waljinah," ucap Megawati.

Sementara itu, dalam sambutannya Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X seperti yang dibacakan oleh Kepala Biro Kesra Pemprov DIY RM Wijoseno Haryo Bimo dikemukakan, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari perlu penghayatan dan pengamalan Pancasila. Sultan Hamengku Buwono merasa prihatin karena seolah Pancasila kini sudah dilupakan.

Nilai-nilai Pancasila, dikemukakan, sudah terbukti keampuhannya. Oleh karena itu, penting mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Rektor Universitas Janabadra Suharjanto menyampaikan, sejak memasuki masa reformasi hingga kini, terjadi kemunduran pamor ideologi Pancasila. Dunia akademisi berperan untuk mengartikulasi keinginan rakyat untuk maju berdasarkan Pancasila guna menghadapi tantangan yang dihadapi bangsa dan negara. [D-12]
 

Sabtu, 04 Juni 2011

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI - PANCASILA BUKAN HANYA KONSEP IDEOLOGIS



Megawati Soekarnoputri: Pancasila Bukan Hanya Konsep Ideologis Tapi Konsep Etis
Sabtu, 04 Juni 2011 , 04:26:00 WIB

RMOL.Peringatan 66 tahun kelahi­ran Pancasila jangan hanya di­maknai sebagai acara seremoni belaka. Namun yang lebih pen­ting, meletakkan Pancasila pada hikmah dan manfaat bagi bangsa Indonesia, untuk menghadapi kompleksnya tan­tangan jaman ke depan.
Presiden RI Ke-5, Mega­wati Soekarnoputri mengatakan, peringatan kelahiran Pancasila merupakan jalan ideologis untuk mempertegas jati diri bangsa Indonesia dan mempertegas bahwa tidak ada bangsa yang besar jika tidak bertumpu pada ideologi yang mengakar pada nurani rak­yatnya.
Peringatan ini mestinya mem­pertegas jati diri bangsa kita. Dan tidak ada bangsa besar jika tidak bertumpu pada ideologi yang mengakar pada nurani rakyat­nya,” ujar Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu.
Berikut kutipan selengkapnya;
Artinya perlu perjuangan untuk terus melakukan sosiali­sasi  Pancasila?
Diperlukan perjuangan agar Pancasila bukan saja menjadi bintang penunjuk tetapi menjadi kenyataan yang membumi. Tanpa itu, kita akan terus mem­per­bin­cang­kan Pancasila tetapi tidak mampu membumikan dan melak­sanakannya hingga akhir­nya kita terlelap dalam pelukan neo-kapi­talisme dan neo-im­pe­ria­lisme serta terbangunnya fun­damen­talisme yang menjadi ancaman besar bagi bangsa dan negara kita.
Selain itu, Pancasila tidak akan pernah mencapai fase peneri­maan sempurna secara sosial, politik dan budaya oleh rakyatnya kalau alur benang merah sejarah bangsa dalam perjalanan Panca­sila dilupakan oleh bangsanya dan dipisahkan dengan penggali­nya sendiri.
Apa makna bahwa bicara Pancasila tidak bisa dilepaskan dari sejarah Bung Karno?
Penegasan ini diperlukan untuk menghindari bangsa ini dari cara berpikir instan. Bahkan seolah-olah mengandaikan Pancasila sebagai produk sekali jadi, yang jauh dari proses perenungan dan steril dari dialektika sejarah pan­jang masya­rakat Indonesia.
Anda me­mak­nai Pancasila se­perti apa?
Pembacaan Pan­­casila pada 1 Juni 1945 oleh Soekarno, secara aklamasi diterima oleh peserta rapat pada waktu itu. Hal tersebut bu­kan saja karena intisari dari subs­tansi yang diru­muskan Bung Karno memiliki akar yang kuat da­lam sejarah pan­jang Indonesia, tapi nilai-nilai yang melekat di dalamnya me­le­wati batas-batas subjektivitas dari sebuah perada­ban dan waktu.
Makanya, Pan­­casila dengan spirit kelahiran­nya 1 Juni 1945, bukan hanya se­ba­tas konsep ideo­logis, tapi se­kali­gus menjadi se­buah konsep etis.
Menurut saya, pesan etis yang terkandung dalam Pancasila ter­sebut sangat berguna untuk meng­akhiri dikotomi antara Islam dan nasionalisme yang telah berjalan lama dalam sejarah politik Indonesia.
Bukankah  Pancasila pernah disalahgunakan untuk kekua­saan semata?
Ya, Pancasila sebagai dasar negara pernah disalahtafsirkan untuk semata-mata sebagai kon­sep politik dalam kerangka mem­bangun persatuan nasional. Saya ingin menekankan, bahwa per­satuan nasional yang di­mak­sud oleh Bung Karno adalah untuk menghadapi kapitalisme dan imperialisme sebagai penye­bab dari kerusakan yang hebat pada kemanusiaan.
Untuk itu, perlu kita pahami bahwa gagasan Bung Karno itu untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdiri sendiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan berkepri­badian dalam bidang kebu­daya­an. Hal seperti ini yang saya per­tanyakan. Apakah saat ini kita bisa berdaulat sepenuhnya untuk mencukupi kebutuhan pangan, energi dan melin­dungi segenap bang­sa kita.
Bagaimana de­ngan tidak di­gu­nakannya Pan­ca­sila se­bagai sumber dari segala sum­ber hu­kum negara?
Hal itu yang me­nohok hati kita se­mua. Saya berke­ya­ki­nan dalam ku­­run 13 tahun reformasi, me­nun­jukkan ke­al­­paan kita se­mua terhadap doku­men pen­ting se­ba­gai ru­ju­kan Panca­sila dalam pro­ses ke­tata-negaraan kita. Artinya, bu­kan Pan­casila yang harus di­per­bin­cangkan, tetapi referensi Pan­ca­sila yang membumi.
Artinya Pancasila harus ada da­lam sistem pendidikan kita?
Itu harus segera dilakukan. Saya mengharapkan lembaga-lem­baga negara yang ber­tang­gung jawab pada penye­lengga­raan sistem pendidikan nasional untuk dapat memastikan kembali agar mata pelajaran ideologi Pancasila beserta penggalinya dapat diajarkan dengan baik dan benar. Selain itu dapat mengikuti benang merah sejarah bangsa di setiap jejang pendidikan anak didik kita.
O ya, bagaimana dengan ma­salah penjualan batu bara ke China dan India, padahal kita juga masih membutuhkannya?
Itu yang saya tekankan bahwa ini masalah aturan, kita mem­buat­nya dan menjalankannya. Seharusnya konsekuen dan kon­sisten. Misalnya aturan yang dibuat untuk kemandirian energi nasional kita.
Semestinya bahan untuk energi masa depan, tentunya harus mem­­prioritaskan dan mencukupi kebutuhan dalam negeri dulu. Setelah itu kalau punya kelebihan bisa diekspor.
Tapi penguasaan pertam­ba­ngan dikuasai oleh asing, itu bagaimana?
Untuk itu harus ada peraturan antara perusahaan lokal dengan modal asing yang mebiayainya, sehingga tidak merugikan bagi perusahaan lokal itu. Namun ha­rus ada hal-hal yang mengikat untuk mengatur mereka yang menjadi pemodal. Makanya ha­rus ada aturannya yang benar-benar tidak merugikan kita. [RM]

PIDATO PANCASILA PERTEGAS HALUAN NEGARA



Pidato Pancasila Pertegas Haluan Negara

Kamis, 02 Juni 2011 , 13:13:00 WIB
Laporan: Dede Zaki Mubarok

RMOL. Pidato peringati Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 1945 yang dilakukan MPR RI merupakan peristiwa kebangsaan yang  sangat penting. Lebih-lebih dengan bertemunya para pemimpin nasional, MPR RI benar-benar menjadi wadah permusyawaratan.

"Pidato kebangsaan tersebut harus menjadi tradisi untuk berdialog, guna mempertegas haluan bangsa ke depan tanpa kehilangan pijakan sejarah bangsanya. Secara khusus kita mengucapkan terima kasih kepada Ketua MPR  Taufiq Kiemas atas perannya sebagai jembatan kebangsaan," kata Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menanggapi pidato Presiden SBY,  Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ketiga RI BJ Habibie (Kamis, 2/6).

Terkait pidato Megawati Soekarnoputri, kata Hasto, ada tiga hal pokok yang disampaikan. Pertama, Megawati mengajak semua untuk melakukan kontemplasi diri, bahwa berbicara tentang Pancasila tidak terlepas dari benang merah alur pikir Bung Karno. Kedua, kesadaran sejarah bangsa terhadap dasar-dasar dari Indonesia merdeka juga dilupakan, sehingga Indonesia seolah berjalan tanpa arah.

"Membaca Buku Negara Paripurna yang ditulis Yudi Latif, kita bisa dengan bangga mengatakan, bahwa Indonesia dibangun melalui suatu mimpi besar. Dengan demikian seluruh dokumen BPUPK harus menjadi dokumen rujukan, ketika bangsa ini mulai bimbang terhadap masa depannya," kata Hasto.

Ketiga, Pancasila bukan produk sekali jadi. Inilah yang sering dilupakan. Dari alur pikir dan sejarah Bung Karno, bisa ditemukan bahwa dasar-dasar Indonesia merdeka telah lama dipikirkan oleh Bung Karno.

"Kontemplasi pemikiran yang digali dari sanubarinya bangsa Indonesia sendiri inilah yang tidak pernah diajarkan. Mengapa ada seorang seperti Bung Karno yang lebih memilih dirinya dipenjara, dan dibuang, selain bukan karena cita-cita yang maha hebat terhadap bangsanya?” kata Hasto.

Hasto yakin, apabila Pancasila benar-benar menjadi dasar dan sumber dari segala sumber hukum, maka dalam konteks kekinian, tidak ada pilihan lagi, selain merombak sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya, yang ternyata hadir sebagai turunan baru dari imperialisme dan kapitalisme, yang sejak awal ditentang oleh Bung Karno.

"Ekonomi yang didasarkan kekuatan kapital, atau yang dikritik Habibie, sebagai VOC baru, harus dirombak menjadi ekonomi kerakyatan. Demikian pula sistem politik, harus dikembalikan pada demokrasi Indonesia yang bercirikan keadilan sosial," ucap Hasto.

Belajar dari sejarah perjalanan bangsa-bangsa lain, kata Hasto, dipastikan tidak ada bangsa yang besar yang tidak berpijak dari sejarah bangsanya sendiri. Di China sekalipun, Negeri Tirai Bambu tersebut mampu menempatkan sejarah bangsanya secara positif. Semua pemikiran sejak pemikiran Konfisius, Sun Yat Seng, Mao Tse Tung, Deng Xiaoping ditempatkan dalam perspektif positif, sebagai alur benang sejarah, yang menjadi fondamen kemajuan bangsa China. 
[yan]

Kamis, 02 Juni 2011

SBY: PANCASILA HARUS KITA REVITALISASI DAN AKTUALISASIKAN



SBY: Pancasila Harus Kita Revitalisasi dan Aktualisasikan



Jakarta:
 Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan gagasan cemerlang Bung Karno. Untuk menjawab tantangan kini dan masa depan, Pancasila harus kita revitalisasi dan aktualisasikan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan hal ini dalam bagian lain pidato kenegaraannya saat menghadiri Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (1/6) pagi.

Dalam memaknai Pringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 --yang banyak dimaknai sebagai Hari Lahir Pancasila ini-- Presiden SBY menyampaikan dua pandangan. Pertama, sebagai refleksi kesejarahan dan kontemplasi untuk mengingat kembali gagasan cemerlang dan pemikiran besar Bung Karno. Kedua, mengaktualisasikan pemikiran besar tersebut guna menjawab tantangan dan persoalan yang kita hadapi di masa kini dan masa depan.

Disamping dua pendapat tadi, Presiden SBY juga menyampaikan hal terkait revitalisasi Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, sekaligus rujukan dan inspirasi bagi upaya menjawab berbagai tantangan kehidupan bangsa. "Saya yakin rakyat bersetuju Pancasila harus kita revitalisasikan dan aktualisasikan," kata SBY.

Dalam kesempatan ini, SBY mengedepankan satu hal besar yang juga digagas Bung Karno pada 66 tahun yang lalu, yaitu pentingnya menegakkan dan menjalankan Negara Pancasila. "Disamping Indonesia adalah negara berdasarkan pancasila, juga mesti dimaknai Indonesia bukan negara yang bedasarkan yang lain-lain," Presiden menambahkan.

"Sejak awal, pendiri republic dengan arifnya, di sertai pemikiran yang luas dan menjangkau ke depan, telah membangun konsensus yang bersifat mendasar. Yaitu, Indonesia adalah negara berketuhanan, negara yang bertuhan dan sekaligus negara nasional. Jadi bukan negara agama," SBY menjelaskan.

Meskipun bukan negara agama, lanjut Presiden, agama mesti dijunjung tinggi. "Kehidupan masyarakat haruslah religius dan bukan sekuler dalam arti meminggirkan agama dan tidak mengakui adanya tuhan," Presiden menegaskan.

Konsensus penting lainnya yang tercetak abadi dalam sejarah bangsa, Indonesia adalah negara berdasarkan ideologi Pancasila, bukan ideologi lain yang dikenal di dunia seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, sosilisme, dan fasisme. "Ini sangat fundamental, dasar dari Indonesia merdeka, dasar dari negara kita adalah ideologi Pancasila," Kepala Negara mengingatkan.

Terhadap godaan apalagi gerakan nyata dari sebagian kalangan yang memaksakan dasar negara selain Pancasila, baik dasar agama ataupun ideologi lain, sebagai kepala negara dan pemerintahan, SBY dengan tegas mengatakan bahwa niatan politik itu bertentangan dengan semangat dan pilihan kita untuk mendirikan negara berdasarkan Pancasila. "Gerakan dan paksaan semacam itu tidak akan tepat di bumi Indonesia, jika gerakan itu melanggar hukum tentulah kita tidak boleh membiarkan," SBY menandaskan.

Namun cara dan menghadapi serta menangani gerakan semacam itu, kata Presiden, haruslah tetap bertumpu pada nilai demokrasi dan aturan hukum. "Tidak boleh main tuding dan main tuduh karena akan memancing aksi adu domba yang akhirnya menimbulkan perpecahan bangsa," ujar Presiden SBY.

Presiden menambahkan, negara tidak dapat dan tidak seharusnya mengontrol pandangan dan pendapat orang seorang, kecuali jika pemikiran tersebut dimanivestasikan ke dalam tindakan yang bertentangan dengan konstitusi, undangan-undang, dan aturan hukum. Dalam konteks ini negara harus mencegah dan menindaknya. (dit)

PRESIDEN HADIRI PERINGATAN PIDATO BUNG KARNO 1 JUNI 1945


http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2011/06/01/6862.htmlRabu, 

1 Juni 2011, 12:10:03 WIB

Presiden Hadiri Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945

Presiden SBY, Presiden ketiga RI BJ Habibie, dan Presiden kelima Megawati, menghadiri Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (1/6) pagi. (foto: cahyo/presidensby.info)
Presiden SBY, Presiden ketiga RI BJ Habibie, dan Presiden kelima Megawati, menghadiri Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (1/6) pagi. (foto: cahyo/presidensby.info)
Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Hj Ani Bambang Yudhoyono serta Wapres Boediono dan Ibu Herawati menghadiri Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di Gedung Nusantara IV DPR/MPR, Jakarta, Rabu (1/6) pukul 10.00 WIB. Acara dibuka dengan menyanyikan bersama lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan dengan pembacaan teks Pancasila oleh Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid.

Acara ini dihadiri para pimpinan lembaga tinggi negara, seperti Ketua MPR Taufiek Kiemas, Ketua DPR Marzuki Ali, Ketua BPK Hadi Purnomo, Ketua DPD Irman Gusman, dan Ketua MK Mahfud MD. Hadir pula presiden dan wakil presiden terdahulu, seperti BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri, Try Soetrisno, Hamzah Haz, dan Jusuf Kalla.

Dalam sambutan pembuka, Ketua MPR Taufik Kiemas menjelaskan, peringatan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 ini mempunyai kaitan sejarah panjang, bermula dari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni, Proklamasi 17 Agustus 1945, hingga pengesahan UUD 18 Agustus 1945.

"Kebangkitan Nasional merupakan bagian dari sejarah membentuk negara sehingga negara ini merdeka. Tidaklah berlebihan pada tanggal 1 Juni juga diperingati seperti halnya Hari Kebangkitan Nasional," kata Taufik Kiemas. "Sehubungan dengan hal itu, maka wajarlah kita selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional serta Hari Peringatan Pidato Bung Karno."

Sementara itu, Presiden ke-3 BJ Habibie menyampaikan, Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, baik Orde Lama, Orde Baru, dan orde manapun. Pancasila seharusnya terus-menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa dan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. "Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit," ujar Habibie.

Sedangkan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri yang menyampaikan pidato sesudah Habibie menjelaskan, di tengah krisis ideologi dan di tengah kegamangan kita melihat masa depan, Pancasila kembali menghadirkan diri sebagai pelita besar dan sebagai perekat bangsa. "Sebagai salah satu bukti bahwa Pancasila mampu tetap menjadi perekat bangsa yaitu sewaktu pergantian kekuasaan pada periode 1998-2004 telah terjadi empat kali pergantian kepemimpinan nasional tetapi bangsa Indonesia masih bersatu, sama halnya dengan apa yang terjadi pada masa krisis yang lalu, Pancasila selalu hadir sebagai solusi kebangsaan," kata Megawati.

Presiden SBY sendiri dalam pidato kenegaraannya menyampaikan dua poin penting. Pertama, momen ini merupakan refleksi dan kontemplasi pikiran-pikiran Bung Karno. Kedua, keperluan untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila melalui cara-cara yang efektif, eduksi, sosialisasi, dan keteladanan.

SBY juga mengingatkan, Pancasila bukanlah doktrin yang dogmatis, melainkan ideologi yang hidup dan terbuka. "Sebagai ideologi yang hidup dan terbuka, Pancasila akan mampu mengatasi dan melintasi dimensi ruang dan waktu," ujar Kepala Negara.

"Bangsa Indonesia mesti teguh dan tegas terhadap pentingnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Marilah saudara-saudara, kita semakin bersatu melangkah bersama dan bekerja lebih keras untuk membangun negeri ini ke arah masa depan yang lebih baik berdasarkan Pancasila," Presiden SBY menambahkan.

Pada awal pidato kenegaraannya Kepala Negara mengatakan dengan dijadikannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sangat terkait erat dengan peran dan pemikiran besar Bung Karno.

Turut hadir Panglima TNI Agus Suhartono, Kapolri Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. (dit)