Rabu, 25 Mei 2011

ARSIP TULISAN JANUARI 2006

ARSIP TULISAN JANUARI 2006


THURSDAY, JANUARY 12, 2006
BALI POS: Mega Kritik SBY-JK -- Negara Ini Bukan Perusaahaan
Bali Pos, 12 januari 2006

''Negara ini negara kesejahteraan, bukan negara korporasi atau negara perusahaan. Filosofi dan isi utama negara adalah perlindungan, pelayanan dan pemberdayaan publik untuk kesejahteraan bersama, bukan masalah untung-rugi.''

Mega Kritik SBY-JK--Negara Ini Bukan Perusahaan

Jakarta (Bali Post) -Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mempertegas komitmennya beroposisi dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pidato politiknya dalam rangka HUT PDI-P di Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu (11/1) kemarin, Megawati mencibir banyaknya partai yang menjadi partai pendukung pemerintah. Dalam prinsip negara yang menganut prinsip checks and balances, hal itu tidak sehat.
''Bukan demokrasi yang sehat jika seluruh partai politik menjadi partai pemerintah atau pendukung pemerintah. Sebagai partai oposisi, PDI-P akan selalu mengawal pemerintah yang ada agar senantiasa melahirkan kebijakan dan tindakan yang tetap pro-rakyat, pro-wong cilik dan memenuhi janji-janjinya ketika kampanye,'' tegas Megawati.
Pidato politik Megawati disampaikan di tengah terik matahari. Ribuan kader dan simpatisan yang memadati halaman Tugu Proklamasi, termasuk pengurus DPC yang baru saja dilantik, kepanasan. Akibatnya, sedikitnya empat orang pingsan dan digotong ke luar area < class="SpellE">upacara bendera.

Dalam melaksanakan oposisinya, Megawati tidak apriori, tidak asal menentang, asal berbeda, asal menyalahkan. PDI-P akan melaksanakan oposisi secara loyal, yakni loyal pada ideologi Pancasila, UUD 1945 dan kepentingan rakyat. Menurut Mega, pemerintah tidak perlu takut atas sikap oposisi PDI-P.
''Jika daya beli masyarakat meningkat, tingkat kemiskinan dan pengangguran menurun, utang luar negeri berkurang, penegakan hukum tidak 'tebang pilih' (pilih kasih), pelayanan pendidikan dan kesehatan makin baik, maka pemerintah tidak perlu khawatir terhadap oposisi PDI-P,'' ujar Mega. Faktanya, selama tahun 2005, pemerintah seperti terjebak pada kepentingannya sendiri, bukan kepentingan rakyat. Tahun 2005 ditetapkan Megawati sebagai tahun keprihatinan. Bukan cuma bencana alam yang terus-menerus, tetapi banyak kebijakan yang diambil pemerintah yang tak sesuai dengan kepentingan rakyat.
Menurut Mega, pemerintah sepertinya telah mengharamkan subsidi. Pemerintah sepertinya akan menarik subsidi pada seluruh komponen barang, terutama BBM. Akibatnya, harga BBM menjadi sangat tinggi.

PDI-P, kata Mega, tidak punya pikiran mengharamkan subsidi. Subsidi masih sangat diperlukan. Cuma kalau terlalu tinggi, perlu dikurangi. Mega menyebut pemerintahan SBY-JK ingin menjadikan negara ini sebagai sebuah negara korporasi alias negara perusahaan yang cuma mementingkan untung.
''Negara ini negara kesejahteraan, bukan negara korporasi atau negara perusahaan. Hubungan negara kesejahteraan tidak boleh dipandang dan diberlakukan hubungan antara negara dan rakyat sebagai hubungan untung-rugi dagang. Filosofi dan isi utama negara adalah perlindungan, pelayanan dan pemberdayaan publik untuk kesejahteraan bersama,'' tutur Mega.

Putri Bung Karno ini mengecam keras kenaikan harga BBM hingga rata-rata 100 persen dan akan tetap konsisten menolak kenaikan tersebut. Soal impor beras, Megawati juga mengecam kebijakan pemerintah. ''Kebijakan tersebut adalah bencana bagi jutaan petani kita dan bencana bagi kelangsungan ketahanan dan keadulatan pangan kita,'' tandas Mega.

Impor beras tak perlu dilakukan. Kata Mega, tahun 2003 dan 2004 bisa dijadikan rujukan. Saat itu, Mega mengeluarkan Inpres No. 9/2003 tentang larangan impor beras. Buktinya, tahun itu tidak terjadi kekurangan beras. Tahun 2004, ujar Mega, bahkan terjadi swasembada beras dengan produksi 33 juta ton, sementara konsumsi nasional 30,4 juta ton.

Megawati juga menyoroti MoU Helsinki. Keinginan damai di Aceh menjadi keinginan bersama seluruh komponen bangsa, termasuk PDI-P. Namun, perjanjian damai itu jangan sampai melanggar batas-batas dasar NKRI. Nyatanya, MoU Helsinki tidak demikian. Perjanjian itu diteken dengan mengabaikan keutuhan NKRI. ''Kami menolak (beberapa pasal) MoU Helsinki,'' imbuhnya.

Yang juga menjadi perhatian Mega adalah utang luar negeri yang begitu besar. Selama tahun 2005 saja, utang luar ngeri bertambah sekitar 1,5 milyar dolar dibandingkan tahun sebelumnya. Mega curiga, dipakai apa saja uang sebesar itu. ''Jika diaudit secara jujur dan transparan berapa sesungguhnya dari utang tersebut yang dipakai untuk kesejahteraan rakyat dan berapa yang raib,'' demikian Mega.

Pemerintahan SBY-JK juga dianggap seperti pemerintahan orde baru yang mempraktikkan sensor pemberitaan pers melalui perizinan dan kontrol yang terlalu ketat. Padahal, kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang diidam-idamkan sejak reformasi bergulir. Kini semuanya kembali seperti orde baru. ''PP bidang penyiaran justru bertolak belakang dengan semnagat dasar dan roh UU Penyiaran itu sendiri. Upaya mengontrol pers melalui perizinan dan berbagai bentuk lain merupakan kemunduran bagi proses demokrkrasi,'' kritiknya.

Kritik Mega ini terkait penolakan Komisi Penyiaran Indonesia yang menolak keluarnya peraturan pemerintah yang dianggap mengekang kebebasan pers dan bertentangan dengan UU Penyiaran yang dibuat DPR. Bahkan, KPI minta dibubarkan saja jika PP itu tetap diberlakukan pemerintah. Tak cuma itu, dalam praktiknya, jubir presiden dan Menkom Info suka mendatangi kantor media massa untuk ''meluruskan'' pemberitaan. Presiden dan wakilnya juga suka kesal terhadap kritik yang dilontarkan pers. (kmb7)
posted by Indonesia Berjuang @ 5:39 AM 0 comments
TUESDAY, JANUARY 10, 2006
TEMPO Interaktif : PDIP Tegaskan Pancasila Ideologi Partai
PDIP Tegaskan Pancasila Ideologi Partai
Selasa, 10 Januari 2006 21:52 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menegaskan Pancasila adalah satu-satunya ideologi mereka. “Tidak boleh ada penjabaran lain terhadap ideologi partai selain Pancasila,” tegas Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dalam acara malam renungan menyambut ulang tahun PDIP ke-33 hari ini di kantor pusat PDIP di Lenteng Agung, Jakarta.Secara lebih spesifik, Megawati menyebutkan Pancasila yang ia maksud adalah Pancasila 1 Juni 1945. Dengan demikian panduan bagi kader dalam menjalankan mekanisme partai hanya ada dua buku, yaitu buku “Lahirnya Pantjasila” (yang dibagikan kepada semua hadirin malam itu) dan anggaran dasar dan rumah tangga partai.

Penegasan sikap partai ini berkaitan dengan masalah yang dihadapi bangsa saat ini. “Kita terkotak pada kepentingan suku agama dan ras”, ujar Sutjipto, Ketua Dewan Perwakilan Pusat PDIP. Di samping itu, ia juga melihat ketata negaraan Indonesia saat ini dipenuhi kerancuan.

Melalui peringatan ulang tahun yang bertemakan “Dengan Pancasila Membela Rakyat”, Megawati mengajak rakyat Indonesia untuk kembali pada Pancasila. Ia juga menyatakan siap menerima debat dengan pihak lain yang tidak setuju dengan Pancasila. “Syaratnya baca dulu literatur tentang Pancasila,” tegas Megawati.Reza Maulana
posted by Indonesia Berjuang @ 12:48 PM 0 comments
SUNDAY, JANUARY 08, 2006
Frederick Blake Burks: Karakter Elite Penguasa Amerika Serikat
www.geocities.com/k2psi_lsm

Karakter Elite Penguasa Amerika Serikat
Frederick Blake Burks
(Mantan Penerjemah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat)

Selama tinggal di Indonesia saya ditemani oleh seorang polisi yang bekerjasama dengan saya, karenanya saya pulang ke Amerika dalam keadaan baik dan aman-aman saja. Pada awal tahun lalu saya juga didampingi oleh seorang pengacara, karena saya diminta untuk menjadi saksi atas peristiwa peledakan-peledakan bom di Indonesia. Sewaktu saya mengungkap hal sebenarnya yang saya ketahui, kontan saja Paul Wolfowitz (Deputi Menteri Pertahanan Amarika) marah-marah tak keruan kepada saya. Tapi dia dan kaki-tangannya tak berani macam-macam, karena kalau dia memperlakukan saya secara tidak bertanggungjawab, tentu saja akan menjadi berita besar di Indonesia dan seluruh dunia.
Beberapa kawan saya yang masih bekerja selaku penerjemah telah menghubungi saya, dan mereka mendukung aktivitas saya dalam mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di sek itar orang-dalam di pemerintahan Amerika. Mereka bilang bahwa saya cukup berani melakukan tindakan yang sangat mengandung risiko ini. Tapi bagaimanapun persoalan ini harus ada yang mengungkapkan, dan kalau saya berdiam-diri menyaksikan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah saya, berarti saya telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa saya, bangsa Indonesia dan seluruh bangsa dunia ini.
Kesalahan dan kesewenangan itu memang tidak hanya dilakukan oleh seorang rejim Amerika saja, tetapi begitu banyak orang yang sedang bermain di belakang rejim itu. Karena itu saya merasa berkewajiban untuk membongkarnya, dan setiap orang Amerika mestinya turut mendukung semua aktifitas yang saya kerjakan ini. Hal ini sangat berkaitan dengan adanya undang-undang khusus bahwa jika ada seorang pemerintah yang tahu mengenai hal-hal yang merugikan rakyat Amerika, ia harus membuka rahasia itu demi kepentingan rakyatnya. Jadi , tidak ada alasan bagi mereka untuk menuduh saya sebagai pengacau atau pelanggar hukum dan undang-undang.
Untuk bicara soal George W. Bush, saya sengaja memposisikan diri selaku peneliti, dan bukan sebagai penerjemah Departemen Luar Negeri. Sudah tiga tahun saya mengadakan penelitian khusus tentang kebobrokan moral ini, karenanya saya tidak merekayasa dan tidak mengada-ada. Di negara kami memang ada kelompok elite penguasa tertentu, yang memang bersikeras untuk tetap berkuasa dan mengeruk keuntungan sebesar mungkin, seakan-akan mereka akan bertahan hidup selama masa ribuan tahun.
Cara-cara yang ditempuh oleh mereka sebetulnya adalah cara-cara usang dan kuno, yakni bagaimana mereka harus membuat orang-orang agar hidup dalam ketakutan dan kengerian. Dan setelah mereka berhasil membuat orang jadi takut, orang-orang itu (atau negeri-negeri berkembang itu) lantas berbondong-bondong menghambur-hamburkan uangnya untuk kepentingan militer, kemudian sepakat memasuki industri yang dipaksakan demi keuntungan mereka. Kini setelah Soviet jatuh, tak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk mengadu-domba kita semua, kecuali masalah agama. Menurut mereka, agama adalah bahan empuk untuk memisahkan orang-orang, serta untuk membuat kita saling bertengkar dan bermusuhan.
Selain itu ada juga kelompok tertentu di pemerintahan kami, yang sudah stress dan frustasi, karenanya mereka nekat menginginkan agar kiamat segera datang. Dan sebelum kiamat tentu dibutuhkan Armageddon, karenanya harus diciptakan chaos dan Perang Dunia Ketiga. Kelompok ini memang betul-betul gila dan kalap tak keruan. Mereka menginginkan agar Perang Dunia itu cepat meletus, hingga ketika kiamat betul-betul datang, bagi mereka tidak ada urusan dengan hari akhir atau hari pengadilan Tuhan. Yang penting bagi mereka adalah kenik matan dan kepuasan menyaksikan dan mendalangi peperangan itu sendiri.
Para elite penguasa itu, baik yang dari partai ataupun bukan, baik yang bersikeras ingin berkuasa maupun yang menjadi oposan, mereka semua sama-sama menginginkan agar penduduk bumi ini saling bertengkar dan bermusuhan. Orang-orang oposan itu, sebagian besar tidak mengerti bahwa mereka sedang ditunggangi dan direkayasa sedemikian rupa. Bahkan menurut saya, George W. Bush sendiri tidak sadar bahwa dirinya sedang diperalat dan dijadikan boneka oleh orang-orang elite yang frustasi dan brutal itu.
Ironisnya, rakyat Amerika sendiri yang intelek dan progresif, banyak yang mengira bahwa semua kesewenangan dan kejahatan itu hanya diprakarsai oleh seorang Bush saja, padahal orang-orang di belakang dialah yang punya kemampuan canggih untuk merekayasa dan mendalangi semuanya itu. Hal ini karena seorang p residen pada zaman ini, di negara manapun, terlalu bergantung pada para penasehatnya. Seorang Bush terlalu sibuk untuk mengadakan acara ini acara itu, menghadiri pertemuan ini perayaan itu dan seterusnya. Dia hanya menerima informasi yang diperlukan saja dari para penasehatnya. Nah, di Amerika Serikat, orang-orang yang bermain di belakang para penasehat itulah yang sanggup mengontrol dan mengendalikan segala kejahatan itu.
Kalau akhir-akhir ini dikenal dengan istilah "teori konspirasi", mereka memang bekerjasama untuk suatu tujuan tertentu. Bukan hanya untuk keuntungan bisnis dan bagi-bagi pendapatan, tetapi mereka ngotot mencari jalan pintas untuk mengeruk keuntungan besar secepat-mungkin. Dalam keadaan darurat dan peperangan, orang-orang itu seenaknya mengambil keputusan bahwa pemerintah membutuhkan dana sebanyak miliaran dollar hanya dalam waktu sekejap. Bukti-buktinya sangat jelas. Belakangan ini saya menerima berita d ari CBS bahwa Menteri Pertahanan Amerika mengaku telah kebobolan uang sebanyak 2 hingga 3 miliar dollar, yang mestinya dimanfaatkan untuk Departemen Pertahanan.
Anehnya, pengumuman itu justru disampaikan sehari sebelum terjadinya peristiwa WTC dan Pentagon. Tentu saja kita dapat mudah menebak bahwa dana sebesar itu pastilah dikantongi oleh mereka sendiri, dan sebagiannya dipakai untuk kepentingan proyek-proyek hitam yang selama ini dirahasiakan kepada bangsa Amerika dan seluruh bangsa dunia. Kalau mereka sekadar menjalankan bisnis, paling banter mereka hanya bagi-bagi penghasilan atau prosentasi pendapatan. Logikanya, kalau suatu kelompok sukses dalam berbisnis, masing-masing hanya akan menerima keuntungan 10 persen atau hanya 20 persen saja. Tetapi di masa darurat perang, mereka akan menganggap bahwa momen itu adalah rezeki nomplok yang tidak kepalang tanggung buat mereka. Anggaran yang dialokasikan untuk Perang Irak saja , coba bayangkan, hanya dalam tempo satu tahun mereka sudah menghambur-hamburkan ratusan miliar dollar. Dan kalau kita mengerti tentang jejak uang, tentulah uang sebanyak itu mustahil diperoleh dari bisnis besar model apapun.
Proyek-proyek hitam itu sudah berjalan selama masa puluhan tahun, namun tidak boleh diakui keberadaannya secara hukum. Salah satu proyek itu di antaranya untuk kepentingan intelijen, karena Amerika tidak mau tersaing oleh negara manapun, bahkan tidak seorang pun boleh tahu tentang teknologi yang terus-menerus sedang dikembangkan.
Rakyat Amerika pada umumnya tidak boleh tahu tentang hal ini. Bahkan para wartawan dan dunia pers sudah dikontrol secara ketat oleh para elite penguasa dan jaringannya. Pada tahun 1980 hingga 1990-an di Amerika terdapat lebih dari 50 perusahaan pers, di antaranya cukup banyak perusahaan-perusahaan pers terkemuka da n terpercaya. Tapi sekarang perusahaan-perusahaan itu telah digabung oleh konglomerasi pers, hingga kini tinggal 8 saja untuk semua pangsa pasar. Karenanya kalau ada wartawan yang independen, jujur dan berani, dia akan menghadapi risiko ditolak oleh atasannya, dan saya punya banyak kenalan yang mengalami nasib seperti itu. Ketika mereka berani memberitakan persoalan yang sebenarnya untuk membuka suatu tabir yang digelapkan, mereka kemudian diganggu dan dipecat dari perusahaan itu. Kalaupun mereka menggugat sampai ke persidangan, hal ini akan sulit dimenangkan oleh seorang wartawan.
Sebuah buku menarik telah mengisahkan banyak kehidupan para wartawan yang mengalami nasib menyedihkan seperti itu. Buku itu berjudul "Into the Buzzsaw", ditulis oleh Kristina Borjesson. Dari buku ini saja mestinya orang-orang Amerika bisa paham dan mengerti tentang dunia pers di negerinya. Tapi aneh sekali, buku itu resensinya tidak perna h dimuat oleh satu media manapun di Amerika, padahal penulisnya adalah seorang terkenal pemenang hadiah Pulitzer.
Khusus tentang peristiwa WTC dan Pentagon pada tanggal 11 September itu, sebetulnya Amerika punya sistem radar yang sangat hebat. Kalaupun misalnya ada rudal meluncur dari Soviet ke Amerika yang kecepatannya dua kali lipat melebihi pesawat biasa, sistem rudal Amerika akan mudah menjatuhkannya hanya dalam tempo dua atau tiga menit saja. Sistem penangkal ini sangat canggih, meskipun boleh jadi ada yang meleset juga. Namun persoalannya, bagaimana mungkin ada empat pesawat sipil yang gerakannya sangat lambat bisa menghancurkan Pentagon. Ketika menedengar bahwa Pentagon hancur oleh pesawat terbang, hari itu juga saya sudah menebak bahwa peristiwa itu adalah rekayasa dan omong kosong belaka. Secara pribadi saya pernah bekerja dengan para jenderal di Amerika. Saya tahu bahwa mereka punya pesawat khusus yang bisa mende kati pesawat manapun hanya dalam tempo sepuluh menit. Anehnya, sudah 90 menit setelah pembajakan itu, tahu-tahu ada pesawat yang kemudian mengenai Pentagon. Ini sangat tidak mungkin dan hanya siasat bodoh saja.
Selain konstruksi gedungnya yang kuat dan kokoh, ada lagi fakta bahwa gedung WTC-7 yang tingginya sekitar 46 lantai, tiba-tiba gedung itu runtuh pada jam 5.00 sore, padahal tidak terkena pesawat sama sekali. Apa-apaan ini? Kejadian ini sangat mudah dipahami bahwa di dalam gedung itu terdapat berkas dan dokumen-dokumen rahasia yang mengarah kepada para konglomerat besar. Dokumen-dokumen itu bisa memberatkan para konglomerat itu dalam beberapa kasus hukum yang berskala besar.
Kemudian yang lebih serius lagi, boleh jadi markas untuk mengatur semua rekayasa itu terdapat di gedung itu. Saya tahu bahwa markas untuk mengatasi keadaan darurat memang terletak di gedung itu pada lantai 21. Ruangan itu sengaja dibangun oleh Walikota New York, khusus untuk keadaan-keadaan darurat. Ada banyak keistimewaan tersendiri di ruangan satu lantai itu. Jadi semua rekayasa itu sangat mungkin dikontrol dari situ, untuk kemudian dihancurkan sama sekali.
Kalau kita bicara tentang rakyat Amerika, secara jujur saya akui bahwa kebanyakan mereka tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa. Karena mereka terus-menerus ditipu dan dibohongi oleh media-massa. Persoalan ini memang tidak sederhana, dan membutuhkan waktu, kesabaran dan perenungan mendalam, kemudian kita sanggup merangkai mata-rantai kejadian yang terpotong-potong oleh keadaan. Rakyat kebanyakan inginnya serba ringkas dan instan saja, karenanya mereka mudah dikelabui dan dininabobokan oleh pihak-pihak penguasa yang berkepentingan.
Tapi saat ini semakin banyak orang yang tidak mau hanyut ke dalam arus keadaan yang menyesatkan ini, termasuk diri saya sendiri. Kami harus mencari media alternatif untuk menghimpun berita dan informasi secara jujur dan akurat. Beberapa bulan lalu ada jajak pendapat di Reuters khusus mengenai peristiwa 11 September itu. Pertanyaan yang ditampilkan adalah: "Apakah anda percaya bahwa pengeboman itu sudah diketahui oleh pemerintah, tetapi mereka membiarkan saja?"
Hasilnya 49,7 persen dari responden mengatakan "YA". Namun ironisnya, hasil jajak pendapat Reuters ini tidak pernah diberitakan oleh media-massa satu pun di Amerika. Aneh sekali. Dan saya sendiri hanya tahu dari Website-nya, dan bukan dari surat kabar Amerika.
Syukurlah, beberapa waktu lalu ada seorang dermawan kaya yang langsung memberikan reaksi positif mengenai hasil penelitian Reuters ini, lantas secara sukarela ia membeli halaman iklan dan memasang hasil jajak-pendapat itu pada satu halaman penuh di New York Times selama beberapa hari. Setelah itu barulah semua orang tahu mengenai hasil riset itu. Karena itu saya yakin, dalam waktu dua tahun ke depan seluruh rahasia kejahatan itu akan terbongkar, dan seluruh dunia akan paham tentang seluk-beluk rekayasa pembantaian itu.
Akhirnya ingin saya tegaskan sekali lagi, bahwa target mereka, para elite penguasa yang bermasalah dan frustasi itu, tidak lain bahwa mereka ingin melestarikan ketakutan dan membikin penduduk seluruh dunia jadi takut. Kalau masyarakat sudah jadi penakut, maka mereka akan mudah dimanipulasi dan dininabobokan. Inilah target utama bagi orang-orang jahat yang frustasi dan banyak masalah itu….
Disunting oleh Muhammad Thorik,
(Ketua Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia, K2PSI)





Dokumen Rahasia di Balik Peledakan Bom di Indonesia
Frederick Blake Burks
(Mantan Penerjemah Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat)

Pertemuan kami di rumah Ibu Mega terjadi pada tanggal 16 September 2002. Waktu itu saya diminta untuk mendampingi seorang utusan CIA, anggota dewan keamanan nasional Amerika, Kareen Brooks, juga Ralp L Boyce selaku duta besar Amerika untuk Indonesia. Pertemuan ini sangat dirahasiakan, dan hanya berlangsung sekitar 20 hingga 30 menit saja. Saya masih ingat ketika rombongan kami mendesak Presiden Megawati agar menuruti permintaan George W Bush, supaya Abubakar Ba'asyir segera diekstradisi ke Amerika. Namun beginilah jawaban Ibu Mega: "Maaf, saya tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Ba'asyir itu cukup terkenal, dan kalau saya serahkan pada Amerika, tentulah akan mempersulit posisi saya di sini."
Para utusan itu kaget melihat keberanian Ibu Mega. Kemudian mereka berusaha mendesak secara halus, hingga seorang utusan CIA mengangkat kepalanya, dan berkata:
"Kami mengerti kesulitan yang dialami Ibu Presiden. Tapi Anda harus paham dan mengerti, siapa itu Ba'asyir? Dia itu orang berbahaya. Dari keterangan Omar Al-Farouk, kelompok Islam yang dipimpin Ba'asyir itu sudah dua kali merencanakan untuk membunuh Ibu Presiden. Bahkan pengeboman gereja di malam natal kemarin, juga Ba'asyir-lah yang menjadi otaknya…."
Hingga akhir pertemuan itu Ibu Mega tetap pada pendiriannya. Ia tidak menanyakan apa bahayanya kalau Indonesia tidak menyerahkan Ba'asyir kepada Amerika. Namun di akhir per debatan sengit itu, Ibu Mega sempat melontarkan kata-kata: "Pokoknya kami tidak akan menyerahkan Ba'asyir, kecuali kalau ada opini-opini negatif tentang dia…."
Setelah itu apa yang terjadi? Belum genap sebulan setelah pertemuan kami, pada tanggal 12 Oktober 2002 terjadilah peledakan Bom Bali, yang kebanyakan korbannya adalah turis-turis Australia.
Tentu saja saya harus menghubungkan peristiwa itu dengan pertemuan di rumah Ibu Mega. Sudah sejak itu saya membaca bahwa pengeboman itu pastilah kerjaan elite penguasa Amerika, dengan memakai kaki-tangan orang-orang lokal sebagai pelakunya. Tujuannya untuk membuat citra-buruk kepada Ba'asyir yang akan dijadikan kambing-hitam sebagai pelaku pengeboman itu.
Kemudian yang menjadi pertanyaan: kenapa yang dijadikan korban justru turis-turis Australia? Hal ini mudah dipahami, karena sebelum peristiwa Bom Bali itu, pemerintah dan rakyat Australia kurang mendukung perang terhadap terorisme yang gencar dipropagandakan Amerika. Dan pada kenyataannya, siapakah yang diuntungkan setelah peristiwa pengeboman itu? Di sinilah kunci utamanya….
Saya sendiri baru mengenal Ba'asyir dalam kunjungan-kunjungan terakhir ke Indonesia. Di Amerika dia kurang dikenal, karena memang rakyat Amerika kurang tertarik untuk mengikuti kejadian-kejadian di luar negerinya. Dalam bulan-bulan ini memang ada beberapa artikel yang membahas terorisme yang disangkut-pautkan dengan Ba'asyir, tapi hampir semuanya cenderung tendensius, dan hanya dibuat-buat untu k menelek-jelekkan Ba'asyir. Entahlah, untuk apa mereka capek-capek menulis artikel semacam itu….
Lantas bagaimana sosok Ba'asyir itu yang sebenarnya? Setelah saya lebih akrab mengenalnya, sungguh pada diri Ba'asyir itu tidak ada watak teroris sama sekali. Memang sepintas dia kelihatan teguh dan tegas pada sikap dan pendiriannya. Namun kenyataannya dia orang baik-baik. Dalam perbincangan dengan saya, dia memang mengakui pernah bercita-cita membangun Indonesia berdasarkan syariat Islam. Menurut saya, hal ini wajar dan sah-sah saja. Pemikiran seperti itu tak bisa dilarang dan merupakan hak asasi dia. Selama pikiran itu tidak dipaksakan dengan kekerasan kepada pihak lain, hal itu harus kita anggap sebagai perbedaan pendapat dan wacana saja. Kenapa yang kewalahan dan uring-uringan justru adalah elite-elite Amerika? Hal ini harus dipahami secara kultural da n struktural.
Dalam soal ini memang ada peneliti Amerika yang tidak sependapat dengan saya, misalnya Sidney Jones selaku Direktur International Crisis Group (ICG). Saya menilai, cukup banyak kelemahan pada analisis Sidney Jones. Dia tidak paham tentang seluk-beluk rekayasa yang menjadi proyek bagi oknum-oknum elite penguasa Amerika. Tapi saya bisa mengerti, karena Sidney memang tidak punya basis di bidang itu. Pengalaman dan aktifitas dia hanya di sekitar human right sebelum terjun ke dunia penelitian tentang jaringan terorisme.
Sebelum masuk ke wilayah Asia Tenggara, boleh jadi Sidney hanya menerima laporan secara sepihak, atau menghimpun informasi yang dibuat-buat oleh intelijen. Bolehlah dikatakan bahwa Sidney salah sumber s ebelum melakukan penelitian tentang terorisme, hingga akhirnya dia tak punya pegangan yang kokoh seperti sekarang ini.
Secara pribadi, pada awalnya saya sendiri kurang yakin mengenai adanya konspirasi di tingkat elite penguasa Amerika, tapi setelah saya mendengar, menerima masukan dari mantan-mantan FBI dan CIA, bahkan saya mengalaminya sendiri, waduh, luar biasa kelicikan dan kebohongan yang menjadi proyek-proyek mereka itu. Karena itu saya berkewajiban untuk mengungkap dan membongkarnya, dan itulah yang menjadi aktifitas saya sekarang ini.
Sebelum diminta sebagai saksi atas persidangan Abubakar Ba'asyir, saya sering diwawancarai oleh media-media lokal di Amerika, juga sering diundang selaku narasumber di kampus-kampus. Di hadapan ribuan mahasiswa saya sampaikan terang-terangan mengenai kegiatan yang sedang saya geluti sekarang ini.
Kalau ada yang menanyakan, apakah saya tidak takut diancam atau diintimidasi oleh Pemerintah Amerika? Saya tegaskan bahwa saya percaya pada Kekuasaan Yang di Atas. Saya hanya mengungkap apa-apa yang saya ketahui, berdasarkan fakta dan data-data yang saya yakini kebenarannya. Saya tidak tertarik untuk mencari-cari musuh. Dan saya percaya, masih banyak orang Amerika yang baik dan menggunakan hatinuraninya, termasuk di kalangan pejabat pemerintahannya sendiri.
Saya hanya membongkar cara-cara kerja dari kalangan elite penguasa tertentu, yang banyak mencelakakan umat manusia di bumi ini, termasuk peristiwa WTC dan Pentagon itu. Persoal an ini memang tidak gampang, dan butuh persatuan dan kekompakan dari kawan-kawan pejuang di seluruh dunia.
Hal ini perlu saya tegaskan, karena kawan-kawan jurnalis di Amerika sendiri belum siap menghadapi kenyataan ini. Mereka masih gemar mengunyah-ngunyah opini bikinan yang dicekoki dari mulut penguasa, dan karenanya mereka masih takut memberi pernyataan ilmiah, dan hanya penyataan politik belaka. Dalam kaitan ini saya sangat menghargai perkembangan dunia pers di Indonesia, yang nampaknya lebih berani dan terbuka untuk mengungkap fakta-fakta dari kejadian yang sebenarnya. Selamat berjuang….
(Dihimpun oleh Hafis Azhari, dari perbincangan bersama K2PSI di kampus Universitas Paramadina, Jakarta)


www.geocities.com/k2psi_lsm
posted by Indonesia Berjuang @ 8:58 AM 0 comments
Ahmad Firdaus: Ketika Dunia Pers Ditunggangi CIA
http://www.geocities.com/k2psi_lsm/Artikel3.html

Ketika Dunia Pers Ditunggangi CIA
(di seputar G30S/1965)

Ahmad Firdaus
(Mantan Anggota DPRD Propinsi Banten)

Reifikasi adalah satu kata yang tak pernah ada dalam kamus bahasa Indonesia manapun. Namun di kalangan pemikir berhaluan marxis, betapa cerdasnya mereka menghimpun kata-kata yang dapat melumpuhkan term-term kapitalisme yang dangkal dan penuh pemalsuan. Setidaknya seorang penulis muda Hafis Azhari (dalam suatu ceramah di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta) telah mengartikan kata "reifikasi" sebagai permainan kata yang gemar diproduksi oleh elite penguasa, untuk disusupkan ke dalam benak rakyatnya, hingga sesuatu yang fiktif dipaksakan menjadi fakta; sesuatu yang artifisial dipaksakan menjadi realitas yang harus diyakini; atau sesuatu yang dibuat-buat oleh dia sendiri, untuk selanjutnya dituduhkan kepada pihak lain yang dianggap lawannya.
Kita mengalami kemiskinan dalam berbudaya - lebih khusus lagi, dalam berbahasa - karena peradaban Jawa (Nusantara) telah terbelenggu oleh mitos-mitos selama berabad-abad. Karenanya bangsa Indonesia baru saja diajak berpikir merdeka dan rasional (oleh para founding fathers) setelah lepas dari penjajahan Belanda yang gemar berkolaborasi dengan kerajaan-kerajaan lokal - yang justru mendukung pola berpikir dengan gaya mistisisme. Padahal sejak tahun 1950-an - menurut kesaksian Pramoedya Ananta Toer - Bung Karno sudah gencar menanamkan benih-benih pemikiran rasional dan progresif dalam segala segmen kegiatan masyarakat.
Namun setelah Soeharto tampil, serta-merta ia menuruti garis politik Amerika yang tidak jelas juntrungannya bagi perkembangan budaya dan peradaban bangsa, hingga Bung Karno pun menegaskan bahwa "Indonesia sedang mengalami set-back delapan tahun". Pernyataan Bung Karno ini bersumber dari analisisnya yang cermat dan tajam, bahwa sebelum itu memang sudah dicanangkan dan dipraktekkan bahwa Indonesia mesti meninggalkan konsep iseng dan main-main tentang "sastra demi sastra" atau "jurnalistik demi jurnalistik". Dunia pers dan kebudayaan kita dengan sadar telah melibatkan diri secara aktif dan progresif, khususnya dalam memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian dunia. Namun setelah Bung Karno tersingkir bahkan namanya disebarluaskan sebagai "terlibat dalam G30S", dengan seketika wajah Indonesia berubah secara total dan kualitatif.
Pada saat itu permainan reifikasi yang dikomandani CIA (Amerika) bersama rekan seperjuangannya M16 (Inggris) telah mengaduk-aduk dunia pers kita, serta mengotorinya dengan dokumen dan berita-berita palsu, hingga mengubah peta politik Indonesia, yang kemudian meluas kepada peta politik Asia dan seluruh dunia….
CIA makin gencar memperalat dunia pers
Pengamat politik Sundhaussen - seperti yang dipaparkan Peter Dale Scott dalam buku Liber Amicorum Bung Karno - menyatakan bahwa, untuk memahami lika-liku G30S tak bisa dilepaskan dari santernya isu dan berita-berita miring yang dihembuskan oleh CIA di seputar peristiwa tragis itu. Sejak tanggal 14 September 1965 Angkatan Darat telah mempercayai selebaran-selebaran gelap tentang rencana pembunuhan pimpinan AD - dalam beberapa hari mendatang - hingga bergegaslah diadakan rapat-rapat darurat di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Setahun sebelumnya juga telah menyebar dokumen-dokumen palsu kepada pihak PKI, namun setelah PKI mengadakan penyelidikan, akhirnya diketahuilah bahwa dokumen-dokumen itu ternyata palsu dan tidak berdasar sama sekali.
Tipu muslihat CIA untuk mengadu-domba pihak-pihak yang berseberangan politik di negeri-negeri Dunia Ketiga - yang kaya sumber-sumber alamnya - telah berpraktek jauh-jauh hari sebelum diterapkan pada negeri Indonesia. Seorang mantan pejabat CIA, Ralph McGehee pernah mengakui bahwa sejak tahun-tahun 1959-1961 CIA telah berhasil memecah-belah Laos dengan sistem polarisasinya. Tujuan mereka yang pertama adalah menggoncangkan situasi serta merangsang salah satu pihak (atau kedua belah pihak) agar saling memprovokasi dan mendahului tindak kekerasan kepada pihak lawannya.
Kesaksian McGehee tentang apa yang disebutnya "perang urat-syaraf" itu kemudian diberlakukan juga di Chili pada tahun 1967 hingga tahun-tahun berikutnya. Saat itu pihak intelijen militer Chili di Santiago, telah diperbantukan oleh agen-agen CIA dengan menyebarluaskan dokumen-dokumen palsu, seakan-akan Presiden Allende beserta aparat-aparat pembantunya berencana untuk menghabisi para komandan militer yang berseberangan paham dengan kekuatan kiri. Perang urat-sraraf itu terus-menerus dihembus-hembuskan, bahkan dengan memakai logika terbalik seakan-akan kekuatan kanan yang punya rencana akan menculik orang-orang kiri, hingga kemudian disusupkan kepada para jurnalis agar ditampilkan pada berita-berita utama selama beberapa hari.
Pada kasus Chili ini, pihak-pihak yang berseberangan itu - yakni para anggota serikat buruh dan para militer konservatif - keduanya bahkan pernah menerima kartu-kartu ancaman yang bertuliskan: "Djakarta se acerca", yang berarti: "Hati-hati, Jakarta sedang mendekat". (Death in Washington, Donald Freed dan Fred Simon Landis, hal. 104-105)
Pancingan provokasi macam itulah yang memacu pertikaian di Chili, yang akhirnya membuat Allende terbunuh setelah ia digulingkan oleh kudeta militer.
Operasi perang urat-syaraf di bumi Indonesia
Dalam artikel Peter Dale Scott yang berjudul "Peran Amerika Serikat dalam Penggulingan Soekarno", telah diungkap mengenai ketakutan Angkatan Darat menjelang peristiwa G30S, terlebih-lebih setelah menyebarnya desas-desus bahwa RRT telah menyelundupkan senjata dalam jumlah banyak kepada pihak PKI. Desas-desus itu terus-menerus ditingkatkan bahwa konon PKI hendak mengadakan revolusi dalam waktu dekat. Beberapa bulan menjelang G30S berita-berita bohong itu telah dimuat pada headline koran-koran nasional Hongkong dan Bangkok. Bahkan dua minggu sebelum G30S koran-koran Malaysia tampil pula menyebarluaskan berita-berita tak berdasar itu pada halaman-halaman utamanya. (Sabah Times, 14 September 1965)
Pada periode itu CIA merasa bangga dengan berbagai trik-trik dan siasat licik mereka, yang diakuinya bahwa dunia pers dan para jurnalis adalah aset-aset berharga untuk menyebarkan informasi yang sulit ditelusuri kebenaran fakta-faktanya. Untuk penyebaran informasi itu mereka diperbantukan pula oleh mitra-mitra utamanya dari intelijen Inggris (M16) hingga memiliki jaringan yang dapat beroperasi dan menyusup ke berbagai wilayah dunia, di mana proyek itu mereka sebut dengan istilah, "Wurlitzer yang gagah-perkasa".
Di pihak lain, penyebaran informasi itu juga telah mempengaruhi unsur PKI yang menuntut diadakan milisi rakyat atau "angkatan kelima", yang serta-merta mengadakan latihan kemiliteran di sekitar Lubang Buaya - dan peristiwa itu tentu semakin memacu ketakutan Angkatan Darat, bahkan melebihi ketakutan mereka pada desas-desus mengenai suplai senjata asal Cina itu.
Paranoia PKI itu sebetulnya sudah berlangsung selama beberapa bulan sebelum G30S, terutama setelah meluncurnya isu mengenai "Dewan Jendral" yang dikabarkan akan berkomplot dengan CIA untuk menumpas orang-orang PKI. Ironisnya, desas-desus itu bukan diciptakan oleh pihak-pihak yang anti Amerika, tetapi justru telah dimulai pada kolom-kolom tulisan wartawan Amerika di Washington. Kolom-kolom yang paling terkenal dan tersebar luas antaranya tulisan karya Evans dan Novak, yang gencar mengadu-domba kekuatan PKI dan Angkatan Darat di Indonesia. Bahkan kedua wartawan itu berani-beraninya menyebarkan informasi bikinan bahwa pihak Angkatan Darat secara diam-diam mendirikan Dewan Penasehat yang terdiri dari lima orang Jendral, dan bertugas untuk memata-matai setiap gerak-gerik dan kegiatan PKI, kemudian melaporkannya kepada Jendral Yani dan Nasution. (Indonesian Communism, Mortimer, hal. 386)
Selain itu Mortimer memberi kesaksian bahwa karya-karya Evans dan Novak telah ditampilkan pada halaman-halaman utama, yang penyebarannya berbarengan dengan munculnya "Dokumen Gilchrist", dan konon telah dibuat oleh Duta Besar Inggris untuk mengadu-domba pihak militer Indonesia - yang kabarnya telah diajak kerjasama guna "menghantam" kekuatan pemerintahan Soekarno.
Tentu saja orang yang wawasan politiknya selevel Letkol Untung, akan mudah terprovokasi oleh propaganda-propaganda canggih dari CIA dan M16, yang wilayah jangkauannya telah menyusupi kekuatan pers dunia, hingga jaringan-jaringannya di tingkat lokal dan nasional….
Provokasi CIA terus berlanjut setelah G30S
Propaganda CIA untuk merekayasa paranoia terhadap PKI telah menjadi agenda sistematis yang dirancang sedemikian canggih, bahkan setelah peristiwa G30S sekalipun. Kesaksian yang diperjelas dalam tulisan McGehee telah membuktikan betapa CIA secara terang-terangan "mengambil keuntungan" dari peristiwa pembunuhan jendral-jendral itu: "Rekayasa CIA dalam memperalat media-massa telah mengambil peranan kunci untuk menghasut kemarahan rakyat terhadap PKI. Foto-foto tubuh para jendral yang tergores, telah ditonjolkan di koran-koran dan televisi, disertai berita-berita bohong bahwa para jendral itu telah dikebiri dan dicungkil matanya oleh perempuan-perempuan komunis. Kampanye sinisme itu terus-menerus dikobarkan untuk membakar kemarahan rakyat terhadap orang-orang komunis, yang dengan sendirinya menyiapkan pentas untuk melancarkan pembantaian massal secara besar-besaran." (The CIA, McGehee, hal. 243)
Berita-berita bohong yang tidak berdasar itu sama sekali tidak diralat dan diluruskan oleh Amerika, malahan dibuat versi terbaru yang justru lebih mengerikan lagi, dengan mengembangkan isu-isu negatif tentang penyiksaan mayat yang disilet-silet bagian tubuhnya oleh wanita-wanita komunis, sambil mengadakan atraksi tarian-tarian cabul.
Seorang wartawan Amerika bernama John Hughes mestinya bertanggungjawab, karena orang ini berada di barisan depan dalam mempropagandakan versi terbaru mengenai wanita-wanita komunis itu. Tidak mengherankan mengapa di kemudian hari si Hughes ini diangkat sebagai jurubicara utama Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, atas prestasi dan jasa-jasanya dalam menyebarluaskan berita-berita bohong ke seluruh penjuru dunia. (The End, Hughes, hal. 43-50)
Akhirnya, meskipun seorang mantan Direktur CIA, William Colby terus-menerus membantah keterlibatan Amerika dalam aksi-aksi teror dan pembunuhan ratusan ribu rakyat Indonesia (setelah G30S), namun kesaksian McGehee lebih patut dijadikan acuan dan rujukan yang layak untuk dipercaya. McGehee sendiri telah membongkar aktivitas CIA pada hari-hari itu, terutama ketika mereka "berpesta" atas keberhasilan operasi-operasi mereka di Indonesia: "Pihak-pihak CIA malah menganjurkan agar cara-cara yang telah ditempuh di Indonesia, kelak akan dijadikan model bagi keberhasilan operasi-operasi mereka di masa yang akan datang…." (The CIA, McGehee, hal. 424)
Pengakuan McGehee itu makin diperkuat oleh pernyataan Nixon, ketika ia diwawancarai Duta Besar Green di tahun 1967, bahwa: "Pengalaman Indonesia adalah pengalaman dahsyat yang paling istimewa, karena segala operasi itu telah berjalan dengan sebaik-baiknya. Contoh semacam itulah yang harus ditempuh di kemudian hari, hingga kita sanggup menjangkau wilayah yang lebih luas lagi, terutama seluruh wilayah Asia Tenggara, dan boleh jadi nantinya kita akan sanggup menjangkau seluruh dunia…." (The Illusion, Szulc, hal. 16)
Pernyataan yang disampaikan Nixon itu telah memberi kesimpulan yang sulit terbantahkan, betapa pola-pola yang mereka terapkan untuk "meluluhlantakkan" wilayah Indonesia (1965) telah dijadikan model dan acuan utama untuk menggulingkan Sihanouk di Kamboja (1970), dan betapa skenario Jakarta telah dipakai sebagai patokan untuk menggulingkan pemerintahan Allende di Chili (1973).
Kini apapun pola-pola yang diterapkan di Irak, Afganistan dan negeri-negeri lain - termasuk kehancuran wilayah Aceh yang mengandung seribu teka-teki - tak lain bersumber dari keangkuhan dan keserakahan Negeri Adikuasa itu, bahwa mereka masih saja memanfaatkan segala energi, uang dan intelektual yang dihambur-hamburkan untuk menimbulkan perusakan dan penghancuran, dan bukan untuk perbaikan, kelestarian dan kesejahteraan umat manusia.
Ada baiknya kita merenungkan kembali ucapan seorang penyair Inggris, Christopher Fry, yang suatu ketika pernah mengatakan: "Di belakang kita telah terbentang waktu panjang yang menyakitkan hati dan mengerikan, namun kenapa kita masih mengulur-ulur waktu, serta masih saja menggunakan obat-obat yang tak pernah menyembuhkan…?"
***
posted by Indonesia Berjuang @ 8:34 AM 0 comments
SUNDAY, JANUARY 01, 2006
B.Azis, A.S.Adiwidjaya: Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S
http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7303
Ngapain Bung Karno Meng-Coup Dirinya Sendiri
Rakyat Merdeka, Sabtu, 24 Desember 2005
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (1)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

17 November 2005 lalu, di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta, Prof Antonie CA Dake (sarjana sejarah, kelahiran Amsterdam, Belanda, 1929) meluncurkan buku berjudul ¡§Soekarno File, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan¡¨. Kesimpulan buku itu: ¡§Sukarno adalah Dalang G30S¡¨. Antonie Dake menulis: ¡§...presiden pertama Indonesia itu merupakan biang yang sebenarnya dari apa yang terjadi pada paruh akhir tahun 1965¡¨. (Antonie CA Dake, ¡§Soekarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan¡¨, Penerbit Aksara Karunia, Jakarta, 2005, h 4). Pendapat Dake tersebut diperjelas lagi dalam wawancaranya dengan wartawan Gatra: ¡§ ¡K. ia (maksudnya Soekarno --penulis) adalah orang yang merancang gerakan ini dengan memakai PKI¡¨ (Lihat Gatra, Nomor 3, 28/11/2005).KESIMPULAN Dake tersebut diberikan dengan menampik segala kemungkinan lainnya. Dake menyatakan: ¡§Suharto tidak tahu rencana kudeta itu. Dia hanya memberi reaksi sebagai tentara, Panglima Kostrad¡¨. Lebih lanjut, Dake juga membantah, ¡§mereka (maksudnya CIA --penulis) tidak tahu siapa Suharto dan di posisi mana dia? Mereka tidak punya curriculum vitae-nya.¡¨ Di tempat lain, Dake mengatakan, ¡§tak ada alasan menyebut lagi PKI (sebagai otak G30S -penulis. Lihat ¡§Soekarno File, h 4).Menjawab pertanyaan siapa dalang G30S, patut dikemukakan, Pemerintahan Orde Baru (Orba) Suharto cq Sekretariat Negara RI telah menerbitkan BUKU PUTIH (tahun 1994) dengan judul Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Dalam kata pengantarnya, Buku Putih tersebut disusun sebagai dokumen kenegaraan resmi untuk menunjang pelaksanaan ketetapan MPR(S) ¡V TAP nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang selama-lamanya ideologi Marxisme-Leninisme-Komunisme dan Partai Komunis Indonesia. Dalam Buku Putih tersebut disimpulkan, dalang peristiwa G30S adalah PKI. Khusus tentang peranan Bung Karno, dalam bab VII BUKU PUTIH tersebut berdasarkan TAP MPRS No.XXXIII/1967 Presiden Pertama RI dituduh terlibat dalam G30S.Sehubungan dengan ini, lewat tulisan Bung Karno Tidak Merestui dan Tidak Terlibat G-30-S/PKI penulis menegaskan beberapa hal. Pertama, dengan kedudukannya sebagai Presiden Seumur Hidup/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia pada periode tahun 1959-1965 di mana kekuasaan berada di tangan Bung Karno sepenuhnya, maka untuk ¡§menyingkirkan¡¨ perwira-perwira tinggi, baik di jajaran Angkatan Darat maupun lainnya, dia dapat melakukannya dengan tidak usah mengadakan tindakan ¡§misterius¡¨, apalagi membuat ¡§gerakan¡¨. Kedua, gerakan 30 September 1965 adalah gerakan yang dengan dalih melindungi Presiden Sukarno dari coup yang akan dilakukan Dewan Jenderal terhadap Bung Karno, dengan membentuk Dewan Revolusi, mendemisionerkan Kabinet/Pemerintahan Presiden Sukarno, menghapus pangkat kemiliteran di atas Letnan Kolonel, sebenarnya telah bertindak meng-coup Pemerintahan RI yang sah di bawah pimpinan Presiden Sukarno. Bila Bung Karno dituduh dalangnya atau terlibat dalam G30S, untuk apa Bung Karno meng-coup dirinya sendiri? (Merdeka, Rabu, 30 Nopember 1994).Sedang Manai Sophiaan dalam bukunya Kehormatan Bagi yang Berhak. Bung Karno Tidak terlibat G30S/PKI merujuk pada analisis tajam, yang dikemukakan Bung Karno dalam ¡§Pelengkap Nawaksara¡¨, yang disampaikannya kepada MPRS 10 Januari 1967 sebagai Pelengkap ¡§Amanat Nawaksara¡¨ mengenai terjadinya G30S, sebagai berikut: ¡¨Berdasarkan penyelidikanku yang seksama, menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September itu, ditimbulkan oleh pertemuannya tiga sebab. Pertama, Keblingeran pimpinan PKI; Dua, Kelihaian subversi Nekolim; Tiga, Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar.Menurut Manai Sophiaan, keblingeran pemimpin-pemimpin PKI, diakui tokoh-tokoh PKI sendiri (diuraikan pada bab berikut dalam bukunya). Kelihaian subversi Nekolim, dibenarkan begitu banyak pengakuan tokoh-tokoh Barat dan Amerika, dan dokumen-dokomen resmi yang terungkap mengenai keterlibatan Amerika Serikat dan CIA di Indonesia (Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI, Jakarta, 1994, h 51-52). RM(bersambung)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7358
Soekarno File, Buku Drama Fiktif
Rakyat Merdeka, Minggu, 25 Desember 2005 00:55:37 : WIB
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (2)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Dalam konteks tiga poin ¡§Pelengkap Nawaksara¡¨ tersebut, menarik apa yang dikemukakan sejarawan dan peneliti senior LIPI Dr Asvi Warman Adam. Menurutnya, faktor pertama disebabkan Biro Khusus PKI yang dipimpin Sjam Kamaruzaman. Kedua, berkenaan keterlibatan pihak asing ¡V seperti AS ¡V dalam peristiwa 1965. Sedangkan ¡§oknum yang tidak benar¡¨ itu bisa saja berasal dari AD (Angkatan Darat) seperti Soeharto atau pihak AURI sendiri seperti perwira yang kontroversial Mayor Sujono. (lihat buku: Gerakan 30 September 1965. Kesaksian Letkol (PNB) Heru Atmodjo. Jakarta: PEC, 2004, h xxvi).SETELAH jatuhnya pemerintahan Orba oleh gerakan reformasi dimana terdapat kebebasan berbicara dan kebebasan pers, muncullah berbagai bahan mengenai peristiwa G30S, baik yang ditulis pelaku kejadian, para korban maupun para ahli sejarah dalam dan luar negeri.Berdasar bahan-bahan tersebut, yang memberikan berbagai variasi mengenai siapa sebenarnya dalang peristiwa G30S, pemerintah Indonesia setelah Orba menghapuskan kata PKI, sehingga penyebutan peristiwa ¡¥G30S/PKI¡¦ selama Orba diubah menjadi peristiwa ¡¥G30S¡¦. Perubahan ini menandakan, dengan munculnya berbagai bahan yang lebih banyak setelah runtuhnya Orba, pemerintah Indonesia merasa perlu melakukan penyelidikan ulang yang lebih lengkap terhadap siapa sebenarnya dalang G30S tersebut. Bahkan pemerintahan Megawati minta dibentuk tim ahli sejarah untuk berdasarkan bahan-bahan tersebut melakukan kaji ulang terhadap sejarah Indonesia, termasuk terhadap peristiwa G30S.Meskipun baru-baru ini, diulang kembali penyebutan persitiwa G30S/PKI dalam bahan-bahan pengajaran, tapi penyajian tersebut diajukan dalam bentuk suatu pandangan yang ada, tanpa menutup berbagai pandangan lainnya.Metode penulisan buku Dake ini seperti yang dia ungkapkan dalam wawancara dengan Gatra, ¡§...saya memutuskan membuat buku secara kronologis. Hari demi hari, jam demi jam, tentang apa yang terjadi waktu itu¡¨ (Gatra, Nomor 3, 28/11/2005).Bila dibaca sepintas, cara penulisan buku Dake ini dapat memberi kesan seolah ia sedang menyuguhkan peristiwa sesungguhnya. Ini mungkin benar, bila kejadian hari demi hari, jam demi jam tersebut merupakan catatan harian yang ditulis sempurna oleh seseorang yang mengalami peristiwanya atau yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan kejadiannya.Tapi tidaklah demikian dengan bahan-bahan yang jadi sumber penulisan buku Dake. Bahan-bahan yang dirangkaikannya berasal dari berbagai sumber. Ada yang dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, tapi juga ada yang kebenarannya sangat diragukan, bahkan bahan utama penulisan telah dibantah sendiri kebenarannya oleh yang bersangkutan.Memang tidak mudah menyingkap otak G30S, karena peristiwa itu adalah usaha kudeta yang dilakukan dengan sangat rahasia. Tidak mungkin memperoleh gambaran sesungguhnya dari bahan-bahan yang demikian itu, kecuali jika si penulis merekayasa sebagian isi cerita tersebut. Dalam konteks ini, membaca buku dimaksud kita seolah sedang membaca sebuah buku drama fiktif, yang jalan ceriteranya sepenuhnya merupakan imaginasi pengarangnya. Disini kelihatannya Dake lebih menampilkan diri sebagai penulis drama daripada ahli sejarah. Apa mungkin mendapatkan kesimpulan yang benar mengenai peristiwa sesungguhnya dari bahan-bahan dan cara penulisan demikian? RM(bersambung)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7420&edtgl=20051226
Widjanarko, Ajudan Pengkhianat Bung Karno
Rakyat Merdeka, Senin, 26 Desember 2005
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (3)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Adapun bahan pokok andalan dalam menarik kesimpulan oleh Dake untuk mencap bahwa presiden Soekarno sebagai ¡§mastermind peristiwa G30S¡¨ adalah apa yang ia sebut sebagai pengakuan Bambang Widjanarko yang dipujinya sebagai ¡§laporan intelijen yang paling dapat diandalkan¡¨, yang ¡§..... datang dari ajudan Sukarno, Bambang Widjanarko. ... Secara umum, ia (Widjanarko --penulis) merupakan saksi yang paling konsisten dan ia merupakan saksi yang paling dapat dipercaya.¡¨ (¡§Soekarno File¡¨, h 53).Dake menulis, pada 30 September malam, presiden Sukarno sedang berbicara pada konferensi para teknisi seluruh Indonesia di Istora Senayan, ¡§Ketika waktu mendekati pukul 22.00, Presiden belum juga berbicara; ia berdiri dan dengan didampingi sejumlah pengawalnya, antara lain Kolonel Saelan, Komisaris Polisi Mangil dan Kolonel Widjanarko. Sebelum Presiden meninggalkan tempat, ia menerima surat dari Widjanarko yang baru diterimanya melalui kurir dan berasal dari Untung; Presiden bermaksud membaca surat itu secara santai, maka itu ia menuju salah satu ruangan samping di stadion; surat itu kemudian dimasukkan dalam kantong jasnya dan ia mulai dengan pidatonya. Surat Untung itu antara lain berisi daftar para anggota Dewan Revolusi, yang akan diumumkan pada keesokkan harinya melalui Radio Republik Indonesia¡¨. (¡§Soekarno File ¡K.¡¨, h 78).Menurut H Maulwi Saelan: ¡§Hanya seorang ajudan beliau (Bung Karno ¡Vpenulis) yang berasal dari Angkatan Laut, Kolonel Bambang Widjanarko mau menandatangani BAP yang telah direkayasa. Saya dengan tegas telah membantah pengakuan ajudan tersebut. Berita tersebut ingin memberi gambaran yang salah tentang kondisi Presiden RI, pada waktu itu¡¨. (H Maulwi Saelan, Dari Revolusi ¡¦45 Sampai Kudeta ¡¦66. Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa¡¨, Penerbit Yayasan Hk Bangsa, Jakarta, 2001, h 316).Kolonel Saelan, kepala staf pasukan pengawal presiden yaitu resimen Cakrabirawa yang pada 30 September malam itu bertindak sebagai komandan pasukan pengawal, karena Brigjen Sabur sedang kembali ke rumahnya di Bandung, dalam bukunya ¡§Dari Revolusi ¡¦45 Sampai Kudeta ¡¥66¡¨ menulis: ¡§Pengakuan Widjanarko bukan fakta, seluruhnya adalah karangan yang diarahkan untuk keperluan mencari-cari kesalahan Bung Karno. Saya yang terus mendampingi Bung Karno dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sebentar, tidak melihat kedatangan pelayan Sogul yang menitipkan sepucuk surat yang katanya dari Untung untuk diserahkan kepada Bung Karno. Juga Bung Karno tidak benar malam itu pernah meninggalkan tempat duduk untuk pergi ke toilet dan tidak benar berhenti sejenak di teras ISTORA yang terang lampunya untuk membaca surat.Jelas sekali pengakuan itu, Bambang Widjanarko sebagai Ajudan, telah mengkhianati Presiden. Saya yang membantah kesaksian itu ketika diperiksa oleh Team Pemeriksa Pusat, harus membayarnya dengan mendekam dalam tahanan bertahun-tahun (4 tahun 8 bulan). ¡KBeruntung kemudian saya direhabilitasi dan dipensiunkan serta menerima tanda penghargaan dari KSAD.¡¨(h 190). Sedangkan pengakuan palsu Bambang Widjanarko ¡§yang kemudian dibukukan dan diedit kedalam bahasa Inggris oleh Rahandi S Karni, Leiden dengan judul ¡§Devious Dalang¡¨, dinyatakan buku larangan dan ditarik dari peredaran oleh Jaksa Agung pada 14 Agustus 1990¡¨. (H Maulwi Saelan, ¡§Dari Revolusi ¡¦45 Sampai Kudeta ¡¥66¡¨, Jakarta 2001, h 190).Seperti dikatakan Saelan, ketika itu memang ada usaha Suharto mencari-cari hubungan G30S dengan Bung Karno. Disamping telah menulis buku ¡§Gerakan 30 September 1965¡¨, sebagai sedikit saksi yang masih hidup, Letkol (PNB) Heru Atmojo menyatakan, ¡§Karena itu, supaya semua orang tahu, bahwa saya juga diminta untuk menandatangani skenario ¡§Kabut Halim¡¨. Saya menolak. Omar Dhani juga menolak. Skenario itu menggambarkan bahwa jenderal-jenderal itu dibawa ke Halim dulu sebelum dibawa ke Lubang Buaya, untuk mendapat ¡§goed gekeurd¡¨ (persetujuan -penulis) dari Bung Karno, Aidit dan Omar Dhani di rumah Komodor Susanto¡¨ (berdasarkan keterangan langsung Heru Atmodjo kepada penulis pada Minggu, 4 Desember 2005).Selanjutnya mengenai surat Untung kepada Bung Karno itu, Heru Atmojo menyatakan ¡§Saya berkumpul dengan Untung di penjara militer Cimahi, bersama Suparjo dan Subandrio sebelum mereka dieksekusi. Hal kattebelletje (surat singkat ¡Vpenulis) itu jadi pembicaraan. Untung mengatakan ¡§Itu bohong, karangan, tidak benar, ..¡¨. RM(bersambung) -------

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7437
Soekarno File Berdasar Bukti Palsu
Rakyat Merdeka, Selasa, 27 Desember 2005
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (4)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Tepat apa yang dikemukakan Asvi Warman Adam. ¡§Dokumen Widjanarko itu sangat lemah dari sudut metodologi sejarah. Sebab, beberapa tahun setelah itu, ketika mendiskusikan buku ¡§Sewindu Bersama Bung Karno¡¨, Widjanarko mengakui bahwa dia mengalami siksaan selama ditahan dan pengakuan tersebut diberikan secara paksa.¡¨ (Asvi Warman Adam, De-Soekarnoisasi Jilid Dua, Kompas, Sabtu, 3/12/2005).Jelas pengakuan pertama Bambang Wijanarko ini tidak dapat dijadikan titik tolak penulisan setelah yang bersangkutan sendiri tanpa tekanan dan ancaman siapapun dikemudian hari mencabut pengakuan tersebut.Pengakuan palsu Bambang Widjanarko yang dibuat di bawah tekanan interogator Orba yang telah dibantah sendiri oleh yang bersangkutan demikian itulah yang jadi dasar tulisan Dake. Lalu, apa kita bisa mempercayai tulisan berdasarkan bukti palsu tersebut? Lebih-lebih lagi, tidak mungkin menghitamkan Soekarno, salah satu founding father¡¦s Republik Indonesia yang telah berhasil memimpin bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya melawan penjajahan Belanda.Bila bukan karena ada tujuan-tujuan tersembunyi, mengapa Dake tidak menyebutkan adanya pencabutan kesaksian ini oleh Bambang Widjanarko? Sekurangnya, sebagai yang mengaku ahli sejarah, Dake perlu mempertanyakan mana yang benar di antara kedua pengakuan Widjanarko ini. Lalu mengapa Dake tidak mempertimbangkan mempelajari dengan serius kesaksian kedua saksi lainnya, yaitu Kolonel Saelan dan Komisaris Besar Polisi Mangil yang menurut Dake juga hadir ketika itu? Dalam konteks ini, keterangan Saelan yang menjelaskan kehadiran Presiden Sukarno di Halim seperti yang ditentukan SOP dan bahwa pada umumnya, jika kepala negara berada dalam bahaya, ia seharusnya pergi ke Halim dan bukan ke tempat lain ¡V dinilai oleh Dake sebagai ¡§keterangan post factum, digunakan setelah kematian dalam rangka melindungi Sukarno¡¨.(¡§Soekarno File ¡K¡¨, h 102-103).Bukankah bahan-bahan yang dipakai mengungkapkan imaginasi fiktifnya itu, Dake juga menggunakan berbagai keterangan (untuk tidak mengatakan seluruhnya) post factum ? Mengapa ia menulis imajinasi fiktif tersebut? Secara objektif, imajinasi fiktif Dake ini mengarahkan pandangan pembaca, seolah Bung Karno sebagai salah seorang founding father¡¦s Republik Indonesia telah menghancurkan bangsanya sendiri, dan dengan demikian, Dake dapat menutup rapat campur tangan Blok Barat terhadap urusan dalam negeri Indonesia selama perang dingin berlangsung serta sekaligus menyelamatkan bekas presiden Suharto yang telah bertindak sebagai perpanjangan tangan Blok Barat di Indonesia.Dake menulis, ¡§Karena itu ia (Sukarno --penulis) secara langsung harus memikul tanggungjawab atas pembunuhan enam jenderal dan secara tidak langsung juga untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis yang berlangsung kemudian¡¨ ( ¡§Soekarno File¡K¡¨ h 4). Ini fitnah keji yang tidak berdasar samasekali.Seperti diketahui, dalam memimpin perjuangan bangsa Indonesia, Bung Karno dikenal sebagai pemimpin yang selalu berusaha mempersatukan semua elemen bangsa mencapai kemerdekaan demi mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Bung Karno selalu menghindari tindakan yang bisa memecah belah bangsa dan hanya menggunakan tindakan-tindakan yang sesuai hukum yang berlaku dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. RM(bersambung)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7508&edtgl=20051228
Mengalirkan Darah, Bukan Watak Soekarno
Rakyat Merdeka, Rabu, 28 Desember 2005
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (5)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Menghadapi kudeta ¡§Peristiwa 17 Oktober 1952¡¨, yang digerakkan Jenderal Nasution, Bung Karno menunjukkan diri sebagai negarawan yang arif, pemimpin yang tegas, demokratis dan manusiawi. Pada Peristiwa 17 Oktober 1952 itu, sementara perwira Angkatan Darat dengan mengerahkan ¡§rakyat¡¨ merusak ruangan sidang, menghadapkan moncong meriam ke gedung DPR, lalu bergerak menuju ke Istana Merdeka. Presiden Sukarno dengan tegar menyambut demonstrasi tersebut dengan pernyataan tegas menolak keras tawaran untuk menjadi ¡§diktator¡¨. Ia tetap bertahan pada sistem demokrasi. Mengatasi peristiwa tersebut hanya dilakukan penangkapan terhadap sejumlah perwira Angkatan Darat yang dicurigai menjadi ¡§dalang¡¨ demonstrasi dan melakukan mutasi besar-besaran dalam pimpinan Angkatan Darat.Terhadap Jenderal Nasution yang menjadi otak utama ¡§Peristiwa 17 Oktober 1952¡¨ tersebut Bung Karno hanya mengeluarkan Nasution dari pimpinan Angkatan Darat, tetapi tidak membatasi geraknya dalam melakukan kegiatan politik. Setelah berkeliling di seluruh Indonesia, Jenderal Nasution memutuskan membentuk partai baru yang diberi nama IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin bekas tokoh-tokoh Angkatan Darat.Demikianlah cara Bung Karno menghadapi perbedaan antara dirinya dengan sejumlah perwira Angkatan Darat. Karena itu, tidak masuk akal menuduh Presiden Sukarno berusaha ¡§melenyapkan¡¨ perwira-perwira Angkatan Darat yang tidak sependapat dengannya dalam Peristiwa G30S. Sebagai Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia pada periode tahun 1959-1965, Bung Karno memiliki wibawa dan kharisma yang sangat tinggi di mata pemerintah dan rakyat Indonesia, sehingga mudah bagi dia untuk mengganti atau memutasikan perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak setia kepadanya.Berbicara sifat manusiawi Bung Karno, menarik apa yang dilukiskan Brigjen (Purn) MW Soedarto. ¡§Malam hari tanggal 30 September 1965 Presiden Soekarno menghadiri suatu Kongres dari para Insinyur di Gelora Senayan. Pagi-pagi mendapat laporan ada kelompok-kelompok Militer di sekitar Istana. Sesuai dengan SOP (Standing Operating Procedure) atau Perintah Tetap, kalau terjadi sesuatu di ibukota di mana keamanan Presiden dalam bahaya, maka para pengawal harus segera membawa Presiden ke pangkalan AU Halim Perdana Kusumah. Sebab pesawat pribadi Presiden selalu siap siaga untuk pergi ke mana saja sesuai Instruksi Presiden.Mengenai kelanjutan peristiwa telah diketahui umum¡¨. Sejak semula, lanjut Soedarto, kita ketahui, A Yani merupakan kepercayaan Soekarno. Sewaktu beberapa kali Soekarno mendapat serangan dari penyakitnya (KOLIEKEN batu ginjal), orang yang pertama kali dipanggil adalah Yani dan kepadanya selalu dikatakan, ¡§Yani, saya titip negara ini¡¨ beberapa kali. ¡§Menghilangkan musuh dengan cara-cara pembunuhan dan mengalirkan darah bukanlah ada dalam watak Soekarno. Dia tidak bisa melihat darah, dia berjiwa seniman. Kalau dia ingin menghilangkan lawan politiknya, dia cukup hanya menandatangani sebuah SK untuk memindahkan orang tersebut, ke pos di luar negeri atau bagaimana¡¨, tegas Soedarto, Ajudan Pahlawan Proklamator Bung Karno.Menurutnya Bung Karno sebagai Presiden/Panglima Tertinggi tidak tersangkut peristiwa G30S, karena sebagai Presiden sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun menghadapi segala macam cobaan (berbagai pemberontakan dan percobaan pembunuhan terhadapnya ¡V penulis), tidak akan melakukan petualangan demikian untuk mencapai tujuannya, dan pasti akan merusak nama dan kedudukannya sendiri, baik di kalangan ABRI, maupun masyarakat luas yang selalu didorongnya untuk menggalang persatuan.Cara mengeliminir Pak Yani dan kawan-kawan, lanjut Soedarto, dengan cara-cara yang kejam dan buas seperti yang telah terjadi, tidak sesuai dengan watak Soekarno; apalagi memperhatikan, Bung Karno sudah menganggapnya sebagai wakilnya yang terpercaya dan sejak lama dipersiapkan beliau sebagai calon penggantinya. (lihat MW Soedarto, Seribu Hari Dengan Bung Karno, Jakarta, 1990, h 26-27).RM(bersambung)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=7597&edtgl=20051229
Mayjen Suharto Pelaku Pembunuhan
Rakyat Merdeka, Kamis, 29 Desember 2005
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (6)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Bahkan ketika Suharto berusaha melakukan kup (coup) merangkak dengan menentang dan memaksakan keinginannya kepada Bung Karno dan pemerintah RI yang sah pun, Bung Karno tetap tidak bersedia mengerahkan pendukungnya menentang Suharto demi pertimbangan menjaga persatuan bangsa. Bung Karno dalam gerak dan tindakannya (pada masa epilog G30S) selalu berusaha menghindari pertumpahan darah yang lebih besar dan ingin mencegah kemungkinan tindakan semena-mena dari mana pun.Karena itu, adalah fitnah keji melemparkan tanggungjawab pembunuhan enam jenderal TNI AD yang terjadi pada tanggl 30 September 1965 malam itu kepada Bung Karno yang bahkan samasekali tidak mengetahui kejadian tersebut.Lebih-lebih lagi tidak masuk akal tuduhan Dake yang mengatakan, secara tidak langsung Bung Karno bertanggungjawab juga untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis yang berlangsung kemudian. Apakah Dake pura-pura tidak tahu, sejak 1 Oktober 1965, Jenderal Suharto mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat dan secara perlahan pimpinan Angkatan Bersenjata RI untuk merangkak naik menjadi presiden RI?Setelah mengetahui Panglima TNI Jenderal A Yani terbunuh, Bung Karno selaku Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, pada tanggal 1 Oktober 1965 mengeluarkan pengumuman yang isinya antara lain, ¡§Bahwa kami berada dalam keadaan sehat wal afiat dan tetap memegang pimpinan negara dan revolusi. Bahwa Pimpinan Angkatan Darat sementara berada langsung dalam tangan Presiden/Pangti Angkatan Bersenjata. Bahwa untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk sementara Mayor Jenderal TNI Pranoto Reksosamodra, Asisten III Menteri/Pangad. Kepada seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, saya perintahkan untuk mempertinggi kesiapsiagaan kembali dan tinggal di pos masing-masing dan hanya bergerak atas perintah.¡¨ (Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Sekretariat Negara RI, 1994; lampiran 9)Seperti diketahui, Mayor Jenderal Suharto tidak mematuhi perintah Presiden/Pangti ABRI tersebut dengan cara melarang Jenderal Pranoto Reksosamodra dan Jenderal Umar memenuhi panggilan Presiden/Panglima ABRI di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965. Menurut pengakuan Jenderal Nasution: ¡§Justru Presiden (Sukarno ¡V penulis) dengan Order 1 Oktober 65 tidak membenarkan tindakan Jenderal Suharto, sebagai Pd Pimpinan AD menurut vaste Order AD, akan tetapi sebaliknya: mengangkat Presiden sebagai pimpinan AD sementara dan Mayjen Pranoto sebagai caretaker ¡K¡¨(Lihat Dokumen Bekas Menko Jenderal Dr A.H.Nasution berhubung dengan ¡§PEL-NAWAKSARA¡¨, h 9-10). Dengan demikian Mayor Jenderal Suharto menyerobot pimpinan TNI Angkatan Darat dan sejak itu pula ia melakukan penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap orang komunis dan non-komunis Indonesia. Dari bahan-bahan tertulis yang dipublikasi Sekneg (1994), kita lihat, semenjak 30 September 1965, Suharto telah mengambil alih kepemimpinan TNI Angkatan Darat. Dan tentu, dialah yang harus memikul tanggungjawab terhadap penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu. RM(bersambung)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=766Asvi Warman Adam: Antonie Bisa Diseret Ke Pengadilan
Rakyat Merdeka, Jumat, 30 Desember 2005
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (7)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Pembunuhan-pembunuhan massal terhadap orang-orang tidak bersalah dan tidak ada sangkut pautnya serta tidak tahu menahu tentang seluk beluk G30S di berbagai daerah di seluruh Indonesia justru terjadi setelah kekuasaan ril berada di tangan Mayor Jenderal Suharto. Dokumen-dokumen CIA mengungkapkan, lebih kurang 5.000 nama untuk dibunuh telah disampaikan kepada pimpinan Angkatan Darat, dan pemerintah Amerika Serikat juga telah memberikan bantuan secara rahasia sejumlah peralatan telekomunikasi dan senjata ringan dalam usaha Angkatan Darat memobilisasi organisasi-organisasi massa Islam untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang komunis dan non-komunis di Indonesia ketika itu. Di samping itu, Mayor Jenderal Suharto juga memerintahkan untuk menangkap dan memenjarakan para menteri kabinet Dwikora, anggota-anggota MPRS/DPRGR dan pejabat-pejabat negara lainnya yang sah. Sebaliknya, di samping tidak membenarkan dan mengutuk pembunuhan yang dilakukan ¡§Gerakan 30 September¡¨, Presiden Sukarno juga menentang keras berbagai pembunuhan yang dilakukan atau yang disponsori Angkatan Darat terhadap orang komunis dan non-komunis setelah terjadinya peristiwa G30S. Diserukan oleh Presiden Sukarno agar menciptakan suasana tenang dan jangan ditingkat-tingkatkan perasaan dendam satu pihak pada pihak yang lain karena perbuatan tersebut hanya akan menghancurkan Indonesia sendiri. Presiden selalu berusaha mencari penyelesaian politik yang adil sehingga dapat menyelamatkan revolusi Indonesia. (lihat ¡§Menyingkap Kabut HALIM 1965¡¨, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, h 289-290). Setelah memasuki era reformasi, di beberapa tempat terjadi kedamaian kembali dengan pengakuan-pengakuan dari organisasi massa yang digerakkan TNI AD melakukan pembunuhan terhadap komunis dan non-komunis setelah terjadinya G30S. Pimpinan organisasi massa tersebut meminta maaf atas perbuatan mereka itu dan menyatakan, mereka tertipu oleh Suharto ketika itu. Bahkan Presiden RI yang ke-3, KH Abdurrahman Wahid ikut menyampaikan penyesalan atas terjadinya pembunuhan yang dilakukan anggota-anggota pemuda Ansor terhadap orang komunis Indonesia setelah G30S terjadi. Karena itu, tindakan-tindakan (tanpa proses pengadilan apapun) penangkapan, pemenjaraan dan pembuangan ke pulau Buru serta pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah dan tidak ada sangkut pautnya serta tidak tahu menahu seluk-beluk G30S - sepenuhnya menjadi tanggungjawab Jenderal Suharto dengan sekutu-sekutunya. Mengapa Dake menutupi kenyataan ini dan menyatakan, Sukarno secara langsung harus memikul tanggungjawab pembunuhan enam jenderal dan secara tidak langsung juga untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis yang berlangsung kemudian (setelah terjadinya peristiwa G30S)? Dalam konteks ini jadi jelas, dengan tulisannya Dake bermaksud, memfitnah Bung Karno. Dia juga berusaha menutupi peranan keji blok dunia barat, terutama Amerika Serikat dengan CIA-nya dalam mencampuri secara kasar dan biadab masalah dalam negeri Republik Indonesia. Selain itu, dia berusaha menutupi peranan Suharto sebagai penyambung tangan blok barat di Indonesia dalam menggulingkan pemerintah RI yang sah ketika itu.Sebagai bangsa, kita tentu menentang fitnah keji itu, dan pemerintah RI yang manapun berkewajiban membela kehormatan salah seorang Founding Father¡¦s Republik Indonesia itu. Sewajarnya pemerintah RI memberi reaksi keras terhadap fitnah keji Dake. Seperti ditulis peneliti LIPI, Asvi Warman Adam, fitnah keji terhadap Bung Karno tersebut dapat dijadikan materi untuk mengajukan Antonie CA Dake ke pengadilan. RM(Habis)
posted by Indonesia Berjuang @ 7:37 AM 0 comments
Jawa Pos, Sabtu, 14 Jan 2006,

Kegamangan Presiden Hadapi Sejarah

Oleh Asvi Warman Adam

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengimbau semua pihak untuk tidak gamang melihat kenyataan sejarah. Hal itu disampaikannya dalam peringatan ke-40 Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) Angkatan 1966 di Jakarta, 5 Januari 2006. Dalam setahun pemerintahannya, justru yang terlihat adalah kegamangan presiden menatap sejarah.Ada berbagai persoalan yang berkaitan dengan masa lampau yang dapat dikerjakan kepala negara sekarang, termasuk menuntaskan agenda presiden-presiden terdahulu.

Pertama, dia sampai sekarang belum memilih anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Usulan itu sudah cukup lama di tangan presiden. Panitia seleksi yang dibentuk Departemen Hukum dan HAM telah memberikan 42 nama, presiden memilih 21 di antara mereka dan menyerahkannya kepada DPR. Jika 21 nama itu dianggap belum cukup kompeten, sebetulnya dapat dibentuk staf ahli yang terdiri atas pakar luar dan dalam negeri. Selain itu, presiden menetapkan sekretaris komisi. Undang-Undang No 27 Tahun 2004 tentang KKR disahkan Presiden Megawati pada 6 Oktober 2004. Dalam pasal 45 ditegaskan bahwa komisi harus terbentuk paling lambat enam bulan setelah pengesahan undang-undang itu.

Kedua, korban peristiwa 1965 telah mengirim surat mengenai rehabilitasi kepada Mahkamah Agung (MA) dan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan telah memberikan jawaban yang positif. Menurut UUD 1945, rehabilitasi itu diberikan presiden dengan mendengar pertimbangan MA. Meski belum terlaksana pada masa pemerintahan Megawati, sebaiknya hal itu dituntaskan sekarang. Kalau presiden memandang rehabilitasi perlu dilakukan secara bertahap, tentu itu dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu merehabilitasi sekitar 10 ribu orang yang pernah dibuang ke Pulau Buru (1969-1979). Tanpa melalui pengadilan, mereka telah ditahan dan dibuang untuk melakukan kerja paksa di sebuah pulau. Itu merupakan pelanggaran HAM berat yang pernah dilakukan rezim Orde Baru. Bijaksana

Ketiga, Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah bertindak bijaksana dengan mengangkat para pahlawan nasional dari berbagai kalangan, termasuk seniman.Komposer Ismail Marzuki dinyatakan sebagai pahlawan nasional pada 2004. Namun, tetap saja ada diskriminasi etnis dalam penetapan pahlawan tersebut. Tidak seorang pun dari kalangan etnis Tionghoa yang termasuk dalam album pahlawan bangsa. Padahal, tokoh seperti Mayor John Lie telah mempertaruhkan nyawanya menembus blokade Belanda setelah proklamasi kemerdekaan untuk menjual komoditas dari Sumatera ke Singapura dan Malaysia dalam rangka mendapatkan modal dan senjata bagi perjuangan tentara republik. Pengangkatan pahlawan nasional selama ini bisa dilakukan kapan saja, tidak harus bertepatan dengan 10 November. Jenderal Basuki Rachmad, misalnya, diangkat Soeharto menjadi pahlawan nasional saat dia sudah meninggal.

Keempat, jika betul ingin menghormati HAM, seyogianya presiden memperkuat jajaran Departemen Hukum dan HAM, terutama dua badan pada departemen itu, yaitu Dirjen Perlindungan HAM dan Balitbang HAM. Tanpa revitalisasi kedua organ tersebut, departmen itu sebetulnya cocok diberi nama Departemen Hukum saja tanpa embel-embel HAM di belakangnya. Revitalisasi dapat dilakukan dengan pembaruan personel dan program kerja yang lebih signifikan.

Kelima, pada 2000, Presiden Megawati telah menugaskan kepada Menteri Pendidikan Nasional waktu itu Abdul Malik Fadjar untuk menerbitkan buku tentang tragedi nasional 1965. Sampai Megawati berhenti menjadi presiden, buku itu belum selesai. Bagus bila tahun ini, pada era kepresidenan SBY, buku itu dapat diselesaikan. Hanya, dalam draf buku yang didiskusikan pada April 2005, masih terdapat kekurangan besar yang perlu diperbaiki. Misalnya, buku itu mencoba menganalisis berbagai versi yang ada tentang dalang G30S (Soekarno, Soeharto, AD, dan CIA).

Ironisnya, versi lain tentang keterlibatan Soekarno paling banyak dibahas (oleh dua orang, Aminuddin Kasdi dan Nina Lubis). Anehnya lagi, pembantaian masal 1965/1966 yang memakan korban minimal setengah juta jiwa tidak dibahas dalam sebuah bab tersendiri. Padahal, buku tersebut mengenai tragedi nasional.

Hak Prerogatif Keenam, mengangkat panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden. Kini, ada empat calon, yaitu kepala staf ketiga angkatan dan Ryamizard Ryacudu. Fraksi PDIP mendukung calon yang terakhir.

Timbul pertanyaan, apakah dukungan yang diberikan partai yang menyatakan berstatus oposisi justru melemahkan peluang Ryamizard.Pemikiran untuk melakukan rotasi jabatan pimpinan tentara itu tentu masuk akal. Hal itu didorong latar belakang sejarah bahwa Angkatan Darat selalu memegang peran dominan di negeri ini. Untuk ke depan, tentu penguatan Angkatan Udara dan Angkatan Laut perlu lebih dipercepat.

Secara historis menjelang 1965, terjadi friksi antara elite Angkatan Darat dan Angkatan Udara. Pada era Orde Baru, walau bersifat laten, hal itu berlangsung terus. Untuk memotong stigma sejarah tersebut, barangkali dapat saja dipertimbangkan panglima TNI dijabat Marsekal Joko Suyanto dari AU sampai dia pensiun pada 2007. "Dengan semangat rekonsiliasi dan melihat ke depan, kita melihat masa lalu untuk memetik pelajaran berharga agar kesalahan tidak terjadi lagi, kehidupan kita makin matang, demokrasi kita makin mekar, dan HAM makin kita hormati," ujar SBY.

Tentu rakyat mendukung pernyataan presiden kita, walaupun semua itu perlu dibuktikan dengan tindakan. * Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta



http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/13/opi01.html

Refleksi Arah Pendidikan 2006

Oleh Benny Susetyo Pr

Cara terbaik untuk mengetahui secara pasti kemajuan sebuah bangsa 10-20 tahun yang akan datang adalah dengan mengetahui cara pemerintahnya mengelola pendidikan. Ketika Jepang dibumihanguskan Pasukan Sekutu pada Perang Dunia II, yang ada dalam pikiran mereka untuk pertama kali adalah membangun dunia pendidikan. Hasilnya, Jepang sebagai ”negara kecil” memiliki pengaruh luar biasa besar dalam percaturan global.Kualitas pendidikan yang rendah memberi pertanda akan wajah masa depan bangsa. Memasuki 2006 – setelah 8 tahun reformasi pemerintahan — bangsa kita dihadapkan problem terbesar pemerintahnya yang belum memiliki cetak biru jelas ke arah mana pendidikan dibawa. Setiap ganti pemerintahan, ganti kebijakan. Ironisnya, masing-masing kebijakan sering bertentangan satu sama lainnya. Hampir semuanya diwarnai kontroversi. Tidak jarang mendapatkan penolakan keras dari masyarakat tetapi tetap dipaksakan pemberlakuannya karena ada kepentingan kekuasaan politik di dalamnya.Pendidikan di bangsa ini membutuhkan arah yang jelas dan betul-betul dipegang teguh dalam semangat kebersamaan tanpa terpengaruh sedikitpun perubahan politik. Saat ini konsep pendidikan bangsa ini semakin tidak jelas karena terlalu banyaknya intervensi yang penuh dengan tipu daya, intrik dan pencapaian tujuan terselubung kelompok tertentu.Dasar-dasar untuk membangun konsep pendidikan runtuh karena terlalu banyak diisi oleh tangan-tangan politik, dan sering mengabaikan tujuan utamanya untuk membentuk karakter manusia. Pendidikan belum menjadi media efektif untuk membentuk karakter manusia, karena semangat dasar untuk memajukan bangsa ini tidak terekam dalam jejak langkah para pengambil kebijakan.Orientasi Proyek Falsafah pendidikan yang mendasar adalah bagaimana anak didik memiliki kesadaran kritis (konsientisasi) akan jati dirinya. Orientasi pendidikan seharusnya mengacu pada nilai dasar untuk membentuk kepribadian anak didik. Arah strategis bisa dimulai dari tahap awal ketika terdapat keseriusan untuk membenahi sistem pendidikan pada tingkat dasar, misalnya Sekolah Dasar. Sekolah Dasar merupakan wahana dasar untuk pembentukan daya nalar anak didik yang akan mempengaruhi tingkat lebih tinggi. Sayang, rupanya para pengambil kebijakan ”tak mau tahu” soal ini. Pendidikan dasar belum meletakkan anak didik pada kemampuan untuk bisa ”membaca”, ”menulis”, ”menghitung”, dan ”mengkomunikasikan imannya.Saat ini kebijakan pendidikan masih sering berorientasi politik dengan cara berpikir proyek sebagai paradigmanya. Belum ada usaha serius untuk mencari akar dari segala keterpurukan bangsa ini pada pendidikan. Hancurnya moralitas bangsa ini bukan semata-mata karena pendidikan agama yang kurang. Kerangka berpikir seperti ini akan menjebak cara berpikir bahwa pendidikan merupakan ekspresi dari segala upaya untuk memuliakan Tuhan. Padahal Tuhan sendiri harus dimuliakan dengan nilai religiusitas yang menyangkut perilaku yang adil. Dalam pada itu, habitus baru yang bernama kejujuran belum menjadi semangat untuk membangkitkan dunia pendidikan dari keterceraiberaian visi dan misinya. Realitasnya, pendidikan belum mengajarkan budaya fair play yang integral dengan cara-cara mendidik anak bangsa ini. Mendidik membutuhkan seni untuk menumbuhkan anak didik mampu merumuskan dan memecahkan masalahnya sendiri dengan kekuatan daya nalar kritis. Hal mendasar seperti inilah yang belum menjadi orientasi dalam berbagai kebijakan pendidikan sampai saat ini. Tidak mengherankan jika belakangan ini dunia pendidikan kita terus disorot karena seringkali menjalankan sesuatu yang tidak jelas orientasinya. Pendidikan kita melalui berbagai kebijakannya belum menjelaskan ke mana anak didik akan dibawa dan akan dibuat seperti apa. Diakui atau tidak, pendidikan kita belum membawa anak didik pada kesadaran akan dirinya sendiri sebagai manusia yang berpikir untuk merdeka. Berpikir merdeka berarti peserta didik sejak awal dilatih memiliki wawasan yang luas mengenai realitas.Menteri dan KurikulumPendidikan di negeri ini belum mencerminkan sejauh mana proses transformasi sosial telah berhasil. Masih terlalu banyak tangan-tangan jahil yang duduk dalam pemerintahan yang seringkali tidak jelas orientasinya dalam dunia pendidikan. Hancurnya habitus pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter bangsa dimulai dari sini. Pendidikan kita tidak pernah jujur di dalam mengajarkan nilai-nilai kebenaran karena semua dilakukan di areal formalisme belaka. Perubahan yang dilakukan seringkali tampak hanya berkaitan dengan penggantian menteri pendidikan dan sebatas itulah yang bisa dilakukan pemerintah. Sistem pendidikan kita hanya mengandalkan cara berpikir yang bermuatan kurikulum, bukan pada pembentukan karakter anak didik. Bukannya kurikulum tidak penting, tetapi cara pandang ini akan membuat pendidikan terlepas dari realitas sosial karena anak hanya didoktrin belaka. Tanpa habitus baru, pendidikan akan selalu dijadikan pertarungan politik abadi. Di balik itu semua, ada keresahan yang mendalam karena pendidikan cuma dijadikan alat politisasi. Terlebih, peserta didik mengalami frustrasi sosial amat parah sebab tidak memperoleh hak untuk mendapatkan pengetahuan yang selayaknya. Kita membutuhkan habitus baru untuk mengelola pendidikan jika tidak mau melihat kehancuran bangsa ini 10-20 tahun yang akan datang. nPenulis adalah budayawan dan penulis buku Politik Pendidikan Penguasa


Azyumardi Azra: Transformative Learning

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=230478&kat_id=19
Kamis, 12 Januari 2006

Transformative Learning

Oleh : Azyumardi Azra

Hari-hari ini, pekan-pekan ini, dan bahkan tahun-tahun ini, Indonesia seolah tidak pernah lepas dari bencana. Mulai dari bencana alam sejak dari gempa bumi, banjir, tsunami, banjir bandang, dan longsor. Lalu 'bencana sosial', sejak dari kelaparan, busung lapar, flu burung, wabah formalin, dan banyak lagi. Semua bencana ini sambung menyambung, sementara bencana yang lebih awal belum sepenuhnya bisa diatasi berbagai dampaknya, bencana-bencana lain segera menyusul, dengan dampak-dampak kemanusiaan dan sosial yang tidak terhitung.
Mencoba berefleksi dan mengambil hikmah dari berbagai bencana itu, sebagian orang menyatakan bahwa alam marah kepada kita. Bahkan yang lebih menakutkan, bencana-bencana itu datang karena Tuhan murka atas dosa-dosa kita. Bagi saya yang sangat meyakini Allah SWT itu maha pengasih (ar-rahman) dan maha penyayang (ar-rahim), agak sulit memahami kalau ada kemurkaan Tuhan yang tidak putus-putus itu. Kasih dan sayang Allah jauh lebih besar, luas tidak bertepi, daripada kemarahan dan kemurkaannya.
Dalam perspektif transformative learning (pembelajaran dan pendidikan transformatif) bencana-bencana semacam itu, antara lain, karena keintiman antara manusia dan alam lingkungannya telah hilang. Manusia kehilangan rasa hormatnya terhadap alam; dimensi sakralnya tidak lagi dihargai. Akibatnya, alam menjadi terancam dalam berbagai manifestasinya. Bumi dan lingkungan hidup lainnya menjadi komoditas, kumpulan barang-barang yang dapat dan bahkan harus diperjualbelikan; digarap, diubah fungsi-fungsinya semau hati manusia. Sejak dari lereng bukit dan gunung sampai ke pinggir kali dan pesisir pantai, tidak ada lagi kawasan yang tidak dijarah anak manusia.
Gejala ini lebih parah terjadi di Indonesia. Sebagian orang berpendapat, penjarahan alam itu disebabkan oleh tidak adanya penegakan hukum; dan lebih parah, bukan tidak jarang aparat hukum dan lembaga publik baik langsung ataupun tidak terlibat dalam pelanggaran. Sebagian lagi menyatakan, penjarahan alam lingkungan itu disebabkan beban demografis berat, yang berakumulasi dengan kemiskinan. Lalu, kemiskinan membuat banyak orang tidak bisa mendapat pendidikan memadai. Tetapi, kita juga lihat banyak orang berpendidikan yang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap alam.
Dalam konteks terakhir ini, dan dari perspektif transformative learning, pendidikan modern yang kini sudah menjadi konvensional, gagal memberikan pandangan dunia yang kosmologis dalam dunia pendidikan, di mana manusia dan alam merupakan kesatuan (Edmund O'Sullivan, Transformative Learning: Educational Vision for the 21st Century, 2001). Pendidikan modern lebih berorientasi untuk mencapai progress, khususnya dalam bidang ekonomi, dengan mengorbankan perspektif kosmologis tentang kesatuan manusia dan alam lingkungannya.
Gagasan tentang kemajuan ekonomi (economic progress), disadari atau tidak, menguasai paradigma dan konsepsi pendidikan modern. Karena itulah pendidikan modern lebih berorientasi pada pengembangan kognisi daripada yang lain-lain. Pengembangan ranah kognisi bukan tidak penting; tetapi tidak pada tempatnya mengabaikan ranah-ranah lainnya. Dan ini terlihat, ketika ranah afeksi dan psiko-motorik nyaris terabaikan. Kalaupun ada, posisinya sangat marjinal dalam proses-proses pembelajaran dan pendidikan.
Di negeri kita, mata pelajaran agama merupakan pelajaran wajib -- yang bersama pelajaran humaniora lainnya-- diharapkan dapat mengembangkan afeksi peserta didik. Apalagi agama-agama umumnya mengajarkan pandangan kosmologis yang terpadu dan menyatu. Tetapi, sayangnya, mata pelajaran agama dan mata pelajaran humaniora lainnya, juga tergelincir ke dalam penekanan yang kuat hanya pada ranah kognisi; yang lebih dipentingkan hafalan, bukan kelekatan pada ajaran-ajaran dan pengamalannya dalam kehidupan sehari. Pengajaran agama jadinya lebih formalistis dan simbolis daripada yang lain-lain.
Karena itu, kita agaknya perlu memikirkan ulang paradigma dan proses-proses pembelajaran dan pendidikan kita. Beberapa usulan pendidikan transformatif perlu mendapat pertimbangan untuk diterapkan dalam proses pembelajaran: Pertama, pengujian dan perenungan misteri alam raya; kedua, penanaman dan penguatan proses pembuatan makna; ketiga, penanaman dan pemberdayaan konsep tentang kesatuan dan integrasi alam dengan kemanusiaan; keempat, penanaman dan penguatan mitos-mitos kultural yang didasarkan pada kepercayaan tentang kapasitas manusia berpartisipasi dalam penciptaan dunia yang berkeadilan, kasih sayang, kepedulian, dan kegembiraan; kelima, penanaman dan pemberdayaan cita ideal tentang masyarakat yang saling berkaitan di dalam tradisi demokratis; keenam, penanaman sikap tanggung jawab untuk mengatasi ketidakadilan dan penindasan.


Adian Husaini: Ketika Bible Masuk Pesantren

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=230477&kat_id=16
Kamis, 12 Januari 2006

Ketika Bible Masuk Pesantren

Oleh : Adian Husaini
Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI

Sejumlah sekolah dan pesantren di Ponorogo, sebagaimana diberitakan Republika (Kamis, 5/1/2005), menerima kiriman Bible dari sebuah kelompok/lembaga Kristen di Indonesia. Banyak yang mengecam tindakan kelompok Kristen tersebut, baik dari kalangan Kristen maupun Islam. Masalah semacam ini, tentu saja, bukan hal baru. Di daerah-daerah bencana, seperti Aceh, penyebaran Bible kepada umat Islam, sering kali ditemukan. Berbagai protes sudah dilayangkan, tetapi hal semacam ini terus saja berlangsung. Inti masalahnya ialah pada soal misi Kristen atau Kristenisasi, yang oleh kaum Kristen dipandang sebagai kewajiban suci yang wajib mereka emban. Kitab Markus, 16:15 menyerukan: ''Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk.''
Maka, baik kelompok Protestan maupun Katolik di Indonesia, sama-sama menegaskan bahwa misi Kristen harus tetap dijalankan. Dari kalangan Protestan, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Dr AA Yewangoe, menegaskan: ''Setiap agama mengklaim diri sebagai yang mempunyai misi dari Tuhan, yang mesti diteruskan kepada manusia. Klaim ini adalah klaim imaniah yang tidak dapat diganggu gugat. Memang, tidak dapat dibayangkan sebuah agama tanpa misi, sebab dengan demikian, tidak mungkin agama itu eksis. Agama tanpa misi bukanlah agama. Tanpa misi, gereja bukan lagi gereja.'' Meskipun begitu, Yewangoe mengimbau agar misi Kristen dilakukan cara-cara yang santun, dan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Ia, misalnya, tidak setuju dengan penggunaan cara mendatangi rumah orang Islam dan mengajak orang Islam masuk Kristen. (Suara Pembaruan, 5/12/2005).
Sejak lama disebarkan Pembagian Bible kepada kaum non-Kristen telah lama dilakukan di Indonesia. Tahun 1962, H Berkhof dan IH Enklaar, menulis buku berjudul Sedjarah Geredja, (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1962), yang menggariskan urgensi dan strategi menjalankan misi Kristen di Indonesia. Berikut ini ungkapan mereka: ''Boleh kita simpulkan, bahwa Indonesia adalah suatu daerah Pekabaran Indjil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit Firman Tuhan. Pelaksanaan tugas raksasa itu selajaknya djangan hanya didjalankan dengan perkataan sadja tetapi djuga dengan perbuatan. Segala usaha Pekabaran Indjil jang sudah dimulai pada masa lalu, hendaknya dilandjutkan, bahkan harus ditambah.
Penerbitan dan penjiaran kitab2 kini mendapat perhatian istimewa.
Penterdjemahan Alkitab kedalam bahasa daerah oleh ahli2 bahasa Lembaga Alkitab, yang sudah mendjadi suatu berkat rohani jang tak terkatakan besarnya, harus terus diusahakan dengan radjin. Perawatan orang sakit tetap mendjadi suatu djalan jang indah untuk menjatakan belas-kasihan dan pertolongan Tuhan Jesus terhadap segala jang tjatjat tubuhnya. Pengadjaran dan pendidikan Kristen pun sekali2 tak boleh diabaikan oleh Geredja. Dengan segala djalan dan daja upaja ini Geredja Jesus Kristus hendak bergumul untuk merebut djiwa-raga bangsa Indonesia dari tjengkeraman kegelapan rohani dan djasmani, supaja djalan keselamatan jang satu2nya dapat dikenal dan ditempuh oleh segenap rakjat.''
Di kalangan Katolik, misi Kristen juga sangat ditekankan. Meskipun pasca Konsili Vatikan II, Gereja Katolik mengubah sikap eksklusifnya terhadap agama-agama non-Katolik. Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menerjemahkan dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan 8 Desember 1975.
Dalam dokumen ini dikatakan: ''Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen. Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan 'benih-benih Sabda' yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu 'persiapan bagi Injil' yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.''
Jadi, misi Kristen untuk mewartakan Kristus kepada umat Islam dan agama-agama lain, adalah ajaran pokok dalam Gereja. Karena itu, kaum Kristen merasa wajib menjalankan perintah itu, dengan cara apapun, sesuai situasi dan kondisi; ada yang secara terang-terangan membagi-bagikan Bible kepada umat Islam, dengan cara menujukkan keteladanan, dan sebagainya. Jadi, ketika kaum Kristen membagi-bagikan Bible kepada umat Islam, perlu dipahami, mereka sedang menjalankan ajaran agamanya. Kaum Muslim tidak perlu terlalu risau, sebab umat Islam juga memiliki kewajiban dakwah kepada internal umat dan kepada kaum non-Muslim, termasuk Kristen. Bagi kaum Muslim, kaum Kristen disebut sebagai ''kafir'' dan umat Islam wajib menyadarkan mereka dari kesesatannya (QS 5:72-75, 3:104).
Dalam Rakernas MUI, 1-3 Desember 2005 lalu, seorang pimpinan MUI wilayah mengusulkan agar umat Islam juga menyiapkan kader-kader dai khusus untuk berdakwah ke kaum Kristen dengan cara mendatangi Gereja-gereja dan rumah-rumah orang Kristen, menyadarkan mereka agar meninggalkan agamanya. Usulan ini digantung, menunggu tuntasnya masalah SKB 1/1969.
Fakta BibleSebelum menolak Bible masuk pesantren atau sekolah-sekolah Islam, umat Islam, khususnya para kiai, mubaligh, dan guru-guru Muslim, baiknya memahami dengan cermat, fakta dan realitas Bible itu sendiri. Bible Perjanjian Baru (The New Testament) ditulis antara tahun 60-90 M, atau sekitar 30-60 tahun setelah masa Yesus.
John Young, dalam Christianity, menyebut bahwa Gospel Markus adalah yang tertua dan selesai ditulis sekitar tahun 65 M. Sedangkan Dr C Groenen OFM, dalam bukunya, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, menulis: ''Karangan tertua (1Tes) ditulis sekitar tahun 41 dan yang terakhir (entah yang mana) sekitar tahun 120.''
Dalam bukunya, Groenen menjelaskan perbedaan antara Konsep Alquran sebagai ''firman Allah'' dan Bible sebagai 'firman Allah'. Dia menulis, bahwa di kalangan Kristen, Bible juga disebut 'firman Allah yang tertulis'. Tetapi, beda dengan Alquran, Bible adalah ''Kitab suci yang diinspirasikan oleh Allah.'' Karena itu, teks Bible, tidak dianggap sebagai wahyu yang tanzil. Hanya saja, perdebatan di kalangan Kristen tentang makna ''inspirasi'' itu sendiri, hingga kini belum berakhir.
Steven Leks, dalam bukunya, Inspirasi dan Kanon Kitab Suci, menyimpulkan: ''sejumlah besar teolog berpendapat bahwa masalah itu sesungguhnya tak terpecahkan. ('there is no solution to this problem').'' Masalah otentisitas dan variasi teks Bible selalu menjadi perdebatan di kalangan Kristen. Menurut Prof Bruce M Metzger, dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang orisinal saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya (A Textual Commentary on the Greek New Testament, United Bible Societies, 1975).
IJ Satyabudi, dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah (2004), mengungkapkan bahwa penemuan arkeologi biblika sejak tahun 1890 M, sampai 1976 M, telah menghasilkan 5.366 temuan naskah-naskah purba kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani. Naskah-naskah itu berasal dari tahun 135 M sampai tahun 1700 M yang terdiri dari 3.157 manuskrip yang bervariasi ukurannya.... Dari 5366 salinan naskah itu, beberapa sarjana Perjanjian Baru menyebutkan adanya 50 ribu perbedaan kata-kata. Bahkan ada beberapa sarjana yang menyebutkan angka 200 ribu-300 ribu perbedaan kata-kata.
Karena ini, kaum Kristen tidak punya Kitab induk dalam bahasa aslinya (Yunani Kuno) yang menjadi rujukan terjemahan Bible seluruh dunia. Maka, wajar jika dijumpai perbedaan dan perubahan yang ''sangat dinamis'' dalam teks Bible itu sendiri. Sebagai contoh, Kitab Imamat 11:7-8 versi LAI (Lembaga Alkitab Indonesia), tahun 1971 adalah: ''dan lagi babi, karena sungguhpun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.''
Tetapi ayat yang sama versi LAI tahun 2004, sudah mengganti kata ''babi'' menjadi ''babi hutan'': ''Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.''
Kondisi teks Bible semacam ini jauh berbeda dengan kondisi Alquran, yang tetap dipegang teguh umat Islam, dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Dengan fakta Bible semacam itu, umat Islam tidak perlu terlalu risau dengan penyebaran Bible oleh kelompok Kristen tertentu ke lembaga-lembaga Islam. Cara-cara kaum Kristen itu memang tidak etis. Tetapi, kaum Muslim jangan sampai terkesan ''ketakutan'' atau ''khawatir'' dengan masuknya Bible ke pesantren atau sekolah-sekolah Islam. Yang penting, para kiai atau guru-guru Muslim memahami Alquran dengan baik dan mengetahui realitas Bible yang sebenarnya. Wallahu a'lam


Seto Mulyadi: Kekerasan pada Anak

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/14/opini/2361025.htm

Kekerasan pada Anak
SETO MULYADI

Hari-hari pertama tahun 2006, media massa banyak memberitakan berbagai tindak kekerasan terhadap anak. Apa yang terjadi?
Dua balita kakak beradik dibakar ibunya di Kecamatan Serpong, Tangerang (Kompas, 4/1). Di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, gadis usia tujuh tahun yang sering dianiaya, dibunuh ibu tirinya setelah diperkosa pamannya sendiri (Kompas, 3/1). Gadis usia delapan tahun disetrika kakinya oleh ayah kandungnya karena dituduh mencuri uang (Kompas, 11/1).
Ini baru sebagian kecil dari berbagai kasus kekerasan yang mengawali tahun 2006, tahun yang oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) bekerja sama dengan Kantor Menko Kesejahteraan Rakyat dicanangkan sebagai tahun kampanye Hentikan Kekerasan pada Anak, Sekarang! (Kompas, 22/12/2005).
Kita bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi? Mengapa banyak orang dewasa tega melakukan tindak kekerasan terhadap anak, bahkan anaknya sendiri dan beberapa di antaranya sampai mati?

Paradigma keliru
Jauh sebelum kasus Arie Hanggara tahun 1983, ada paradigma keliru tentang anak di kalangan banyak orangtua. Seolah anak adalah hak milik orangtua yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut orangtua masuk akal.
Data Komnas PA menunjukkan, kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Di kalangan menengah ke bawah, kekerasan pada anak karena faktor kemiskinan. Di kalangan menengah ke atas, karena ambisi orangtua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah, di masyarakat, termasuk selebritis cilik agar bisa tampil di televisi.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA mencatat, anak (9 tahun) korban kekerasan, akhirnya ingin membunuh ibunya jika ia bertemu.
Ini semua akibat tindak kekerasan pada anak. Paradigma keliru yang menganggap anak tidak memiliki hak, dan harus selalu menurut orangtuanya, harus diakhiri.
Sudah saatnya orangtua menyadari, anak-anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa lainnya yang harus dihargai. Maka, hak-hak anak perlu ditegakkan, antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh, dan berkembang optimal; memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.
Hak anak tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Pemerintah Indonesia tahun 1990, disusul disahkannya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang mencantumkan berbagai sanksi bagi pelanggaran hak anak. Bahkan, pasal 80 UU Perlindungan Anak menyebutkan, orangtua diposisikan pada garda paling depan bagi upaya perlindungan anak, di mana sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan adalah orangtuanya sendiri.
Hal itu harus terus disosialisasikan oleh pemerintah, media, LSM, lembaga pendidikan, perorangan maupun organisasi yang memiliki akses kepada ibu dan keluarga, untuk mengubah paradigma keliru tentang anak. Selama ini, pembicaraan soal hak anak hanya muncul menjelang Hari Anak Nasional, lalu dilupakan.
Kampanye tahun 2006, Hentikan Kekerasan pada Anak, Sekarang! sepatutnya mendapat dukungan luas, dimulai dari ibu-ibu PKK di tiap provinsi. Hal itu diawali dari perubahan sikap sederhana, bahwa membentak atau menjewer telinga anak adalah tindak kekerasan yang harus ditinggalkan. Suasana kekeluargaan di RT/RW perlu ditingkatkan sehingga ada kepedulian antarwarga jika ada yang menghadapi masalah seperti stres atau depresi. Dengan demikian, masing-masing saling mengingatkan jika mulai muncul gejala tindak kekerasan terhadap anak. Juga perlu ditegakkan law enforcement. Pelaku tindak kekerasan pada anak seharusnya dikenai sanksi pidana maksimal. Dengan demikian, paradigma keliru mengenai anak bisa diubah bertahap.

Bangsa yang besar
Kekerasan terhadap anak juga banyak dijumpai di lingkungan sekolah. Kurikulum yang terlalu padat dan tidak berpihak pada anak, sikap beberapa oknum guru yang kadang kasar dan memberi hukuman fisik dengan dalih menanamkan disiplin, dan serangkaian bentuk kekerasan terhadap anak, tidak dapat dibenarkan.
Bagi anak, belajar yang efektif justru belajar yang menyenangkan, bukan belajar yang penuh rasa takut atau tertekan.
Di sisi lain, anak-anak juga mendapat tindak kekerasan dari lingkungan masyarakat. Tayangan TV yang didominasi berbagai berita maupun sinetron bernuansa kekerasan, contoh masyarakat yang menggunakan kekerasan sebagai jalan pemecahan masalah maupun perilaku para tokoh yang seharusnya menjadi panutan namun justru mencontohkan kekerasan, adalah rangkaian bentuk kekerasan yang amat besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian anak di masa datang.
Tindak kekerasan terhadap anak dan tidak bisa dilupakan adalah bila dilakukan oleh negara. Betapa banyak pembiaran (by omission) yang dilakukan negara terhadap jutaan anak di negeri ini. Dari mulai pembiaran terhadap ratusan ribu anak jalanan yang terpanggang terik matahari di jalan-jalan raya dan jumlahnya kian meningkat, anak yang terpaksa harus putus sekolah dari haknya untuk mendapat pendidikan dasar, anak yang kelaparan dan menderita busung lapar karena tidak terpenuhinya hak dasarnya atas kesehatan, ini semua mengakibatkan hilangnya sebuah generasi unggul bangsa.
Ini semua terjadi karena adanya paradigma keliru mengenai anak, baik di kalangan sementara orangtua, pendidik, media elektronik, tokoh panutan maupun pejabat atau pemimpin bangsa. Seolah anak boleh diperlakukan apa saja. Anak tidak boleh bersuara, anak tidak perlu didengar pendapatnya, anak boleh dilupakan dan akhirnya anak bisa diletakkan pada prioritas paling akhir.
Jika keadaan ini dibiarkan terus berlangsung dan kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Karena para pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri orang-orang yang memiliki masa kanak-kanak penuh nuansa kekerasan. Mereka telanjur gemar akan kekerasan sehingga akan menyelesaikan berbagai persoalan bangsanya dengan cara-cara penuh kekerasan.
Dulu ada moto, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Benar, karena kita tidak boleh melupakan sejarah masa lalu. Namun untuk membangun sebuah bangsa, kita juga tidak boleh melupakan persiapan untuk masa mendatang. Dan pemimpin bangsa kita di masa datang tidak lain adalah anak-anak masa kini. Anak-anak yang perlu diasuh dengan penuh cinta dan kasih sayang, bukan dengan cara kekerasan.
Untuk itu, agaknya kita perlu menambah moto:Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak! Bangsa yang menghentikan kekerasan terhadap anak, sekarang dan untuk selamanya.

SETO MULYADI Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak

WEDNESDAY, JANUARY 11, 2006



Bartain Simatupang: Pergantian Panglima TNI

http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/012006/12/0901.htm

Pergantian Panglima TNI

Oleh BARTAIN SIMATUPANG

RENCANA pergantian Panglima TNI sudah cukup lama tertunda. Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terakhir adalah penundaan hingga akhir Desember 2005. Pada saat Rapat Konsultasi dengan Ketua DPR tanggal 23 Desember 2005, Presiden SBY memastikan pergantian akan dilakukan pertengahan Januari 2006. Karena penundaan tersebut begitu lama, maka semua pihak mengharapkan agar rencana ini tidak mundur lagi.
Penundaan yang terjadi selama tahun 2005 ini ternyata telah memperluas peluang terjadinya politisasi. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat yang kontroversial dari berbagai pihak. Pendapat para politisi di DPR dan pengamat tampaknya telah tergiring pada soal "figur" Panglima TNI yang dianggap paling tepat. Sebagian berharap agar presiden memilih kandidat dari TNI AU atau TNI AL. Cukup menarik, opini ini malah mendapat respon "dukungan" dari sebagian perwira tinggi (pati) dan mantan petinggi TNI AU/TNI AL.
Sebaliknya, sebagian pengamat lainnya menilai kandidat dari TNI AD masih memiliki kans lebih besar. Selain tersedia dua calon, penilaiannya dikaitkan dengan kepentingan Presiden SBY sebagai purnawirawan TNI AD. Dalam menanggapi kedua opini tersebut, reaksi para mantan petinggi dan pati TNI AD yang masih aktif cenderung bersikap normatif.
Dinamika politisasi tersebut menyebabkan presiden menghadapi pilihan yang cukup dilematis. Namun demikian penulis berupaya untuk menghindari spekulasi politik ini. Persoalannya terfokus pada masalah mekanisme penentuan "seorang" kandidat Panglima TNI. Pertanyaannya adalah sejauhmana presiden dapat "menjatuhkan" pilihannya seobjektif mungkin.
Harapan semua pihak terhadap pemulihan citra TNI saat ini semakin meningkat. TNI diharapkan agar dapat mewujudkan prajuritnya menjadi lebih profesional, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis dan terjamin kesejahteraannya. Dalam pelaksanaan tugasnya, TNI harus mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM dan ketentuan hukum yang berlaku. Citra baru TNI yang sudah menjadi konsensus nasional ini diharapkan dapat semakin diwujudkan di masa depan.
Sebagaimana diketahui konsepsi "Tentara Profesional" ini sudah diputuskan bersama antara presiden dan DPR, dalam diktum UU RI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (Pasal 2). Untuk itu sebagai realisasinya, semua kandidat Panglima TNI yang akan dipilih nantinya dituntut harus dapat menjabarkan konsensus politik ini. Implementasinya akan dituangkan dalam visi, misi dan rencana program kebijakan masing-masing kandidat Panglima TNI.
Penentuan pilihan bagi kandidat Panglima TNI sesuai ketentuan, memang sudah menjadi hak prerogatif Presiden SBY. Agar presiden tidak menyalahgunakan kewenangannya (seperti di masa lalu), maka diatur ketentuan tentang "keikutsertaan rakyat" melalui wakilnya di DPR untuk memberikan persetujuan (UU tentang TNI khusus Pasal 13). Mekanisme penentuannnya lebih lanjut disebutkan "bahwa presiden mengusulkan satu orang kandidat Panglima TNI untuk mendapatkan persetujuan DPR" (Pasal 13 Ayat 5). Dengan kata lain bisa dipahami bahwa dalam hal "menentukan pilihannya sampai pada satu orang kandidat", merupakan hak dan kewenangan sepenuhnya bagi Presiden SBY.
Sampai pada pemahaman ini, persoalannya adalah bagaimana agar kewenangan ini dilaksanakan secara transparan. Bila tidak transparan, apalagi bila terkesan mengulur-ulur waktu, maka hal ini menimbulkan respons beragam dari kalangan politisi dan pengamat. Respons ini bisa dalam bentuk interpretasi yang berupa isu, rumor dan skenario sepihak. Bahkan lebih jauh bisa mengundang intervensi kepentingan politik, berupa aksi "manuver politik". Manuver ini dapat dilakukan, baik oleh para pengamat dan politisi di DPR, maupun oleh para kandidat yang akan dipilih. Rencana pergantian Panglima TNI yang terkesan lambat dengan alasan pertimbangan "konsolidasi TNI", telah membuktikan ketidakjelasan mekanisme ini.
Kalaupun kenyataannya sudah lama terjadi penundaan, sungguh bijaksana Presiden SBY ternyata telah memberi kepastian kepada publik. Kepastian rencana waktu sudah disampaikan secara resmi kepada publik, lewat rapat konsultasi dengan Ketua DPR. Hanya saja persoalannya bagaimana mekanisme pergantian Panglima TNI ini dapat diungkapkan secara transparan. Untuk itu disarankan agar Presiden SBY perlu memberi kesempatan lebih terbuka bagi semua kandidat Panglima TNI.
Dalam kesempatan ini diatur bagaimana sebaiknya supaya para kandidat tersebut dapat menyosialisasikan visi, misi dan rencana program kebijakannya. Seperti diketahui pada saat penyusunan kabinetnya, di awal pemerintahan Presiden SBY telah melakukan suatu terobosan. Sebelum dipilih, setiap kandidat menteri diwajibkan untuk menyusun platform dan memaparkannya kepada Presiden SBY. Banyak pengamat menilai terobosan ini belum sepenuhnya transparan, karena peran media belum diikutsertakan secara optimal.
Bila sosialisasi ini dimungkinkan dari segi waktu, maka sebaiknya diatur lebih lanjut oleh Pimpinan Mabes TNI, Menteri Sekretaris Negara dan instansi terkait. Bentuk dan mekanisme penentuan kandidat Panglima TNI secara internal ini perlu dipublikasikan. Kegiatan publikasi ini bisa ditawarkan kepada pihak pengelola media massa pemerintah dan swasta, baik elektronik maupun cetak. Dalam hal ini, sosok kandidat Panglima TNI diberi kesempatan untuk disosialisasikan lewat media tersebut. Platform dari masing-masing kandidat paling tidak dapat dimuat secara berturut-turut di berbagai media cetak.
Dengan adanya sosialisasi seperti ini, ada dua hal yang dapat diambil manfaatnya bagi pembelajaran kita dalam berdemokrasi. Pertama adalah untuk menjamin penerimaan (legitimasi) masyarakat terhadap komitmen dan konsistensi reformasi TNI ke depan. Melalui sosialisasi tesebut, semua pihak akan mendapat informasi yang terbuka, tentang ketulusan pihak TNI untuk sungguh-sungguh berupaya memulihkan citranya. Kedua adalah untuk menjamin objektivitas penentuan pilihan Presiden SBY terhadap kapasitas dan kapabilitas seorang kandidat Panglima TNI. Dengan demikian mekanisme pemilihan seorang pejabat publik seperti ini diharapkan tidak sekadar sebagai formalitas belaka.
Berbicara mengenai konsepsi dan upaya perwujudan profesionalisme TNI tersebut di atas, maka ada dua hal yang masih perlu didiskusikan. Hal ini jelas akan berkaitan dengan kemungkinan pertimbangan bagi Presiden SBY dalam menentukan "figur" Panglima TNI yang akan dipilihnya. Pertama, tentang kebijakan pengimplementasian terhadap konsepsi "TNI tidak berpolitik praktis". Dari pengamatan terhadap kebijakan yang telah ditempuh oleh Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto, oleh sebagian pengamat dinilai belum maksimal.
Dalam menerapkan kebijakan netralitas TNI, khususnya dalam pelaksanaan Pilkada langsung sekarang ini, Pimpinan TNI dianggap masih bersikap ambivalen. Malahan dikuatirkan bahwa hal ini akan memberi kesempatan bagi TNI untuk kembali berpolitik praktis. Selanjutnya bagi Panglima TNI yang baru dituntut komitmennya yang tegas, untuk mengimplementasikan TNI benar-benar tidak lagi berpolitik praktis.
Kedua, tentang kebijakan pengimplementasian terhadap konsepsi TNI tidak berbisnis. Suatu hal yang dianggap sebagai langkah terobosan bagi pengimplementasian konsepsi ini adalah kebijakan yang diambil Panglima TNI yang sekarang. Jenderal TNI Endriartono Sutarto telah mengambil kebijakan untuk menyerahkan pengelolaan seluruh aktivitas bisnis TNI kepada negara. Prosesnya paling lambat selesai 2 (dua) tahun ke depan. Padahal amanat UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI (khususnya Pasal 76) menentukan proses ini dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Realisasi kebijakan ini selanjutnya juga menjadi tantangan tugas bagi Panglima TNI yang baru nantinya. Apapun bentuk upaya hukumnya, yang jelas masyarakat mengharapkan semua pihak terkait agar dapat menuntaskannya.***

Penulis, alumnus FISIP UI, pemerhati masalah pertahanan dan tinggal di Bandung.

YAHOO! GROUPS LINKS
Visit your group "nasional-list" on the web.
To unsubscribe from this group, send an email to: mailto:nasional-list-unsubscribe@yahoogroups.com?subject=Unsubscribe
Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.


Fransisca Ria Susanti: Megawati: Ada Upaya Sistematis Delegitimasi Parpol

Sinar Harapan, 11.01.2006

Megawati: Ada Upaya Sistematis Delegitimasi Parpol

OlehFransisca Ria Susanti

Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menilai ada upaya sistematis untuk mendelegitimasi partai politik (parpol) dalam komunitas demokrasi.”Ingin diciptakan opini bahwa komunitas sipil tidak bisa urus demokrasi,” kata Megawati dalam peringatan ulang tahun PDIP ke-33 yang dihadiri sekitar seribu kader dan simpatisan di halaman Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu (11/1) pagi. Mantan Presiden ini juga mengkritik sejumlah kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai semakin memarginalkan rakyat. Perihal kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM), Mega mengkritik pada era pemerintahannya, memang ada pemikiran untuk mengurangi dan memperbaiki subsidi. Namun ia sama sekali tak pernah berpikir untuk menghilangkan subsidi sama sekali. ”Negara ini adalah negara kesejahteraan, bukan negara korporasi, sehingga hubungan antara negara dan rakyat tidak boleh hanya didasarkan pada untung dan rugi,” katanya. Ia juga menyorot besarnya utang luar negeri yang dimiliki Indonesia. Pemerintah harusnya berani mengambil tindakan tegas karena ada banyak utang yang diterima Indonesia tersebut tidak ditujukan bagi kepentingan rakyat. Ia juga menekankan, dalam membina hubungan antarnegara, Indonesia juga harus kritis terhadap negara-negara maju, sehingga Indonesia tak hanya dijadikan pasar oleh negara-negara tersebut. Oposisi Dalam kesempatan tersebut, Megawati kembali menekankan posisi politik PDIP dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. PDIP, menurutnya, akan tetap bertekad untuk menjadi oposisi guna menjadi penyeimbang pemerintah. ”Bukan hal yang sehat jika semua parpol jadi pendukung pemerintah,” ujarnya.Namun, ia menekankan bahwa sikap oposisi yang diambil PDIP bukan oposisi apriori yang bersikap asal menentang. Menurutnya, PDIP akan menjadi oposisi loyal yang akan menjadi kontrol bagi pemerintah jika bertindak melanggar Pancasila, UUD 1945, dan membuat sejumlah kebijakan yang tidak pro rakyat. ”Jika pemerintah bisa membuat daya beli masyarakat naik, utang luar negeri berkurang, dan penanganan korupsi tidak dilakukan dengan tebang pilih, pemerintah seharusnya tidak khawatir dengan sikap oposisi yang diambil PDIP,” ungkapnya. Megawati juga kembali menyoroti kesepakatan Helsinki yang ditandatangani pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurutnya, MoU tersebut mencederai cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia sepenuhnya yakin bahwa tujuan perdamaian di Aceh tidak akan langgeng jika dilakukan di luar bingkai NKRI. Ia juga meminta agar anggota Fraksi-PDIP di DPR untuk mencermati RUU Penyelenggaraan Pemerintah Aceh agar sejumlah hal yang dinilai mencederai NKRI tidak disetujui. n



Copyright © Sinar Harapan 2002


Ismail Saleh: Kita Ini Tinggal "Baju Dalam"

SUARA KARYA

Kita Ini Tinggal "Baju Dalam"

Oleh Ismail Saleh
Kamis, 12 Januari 2006Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dengan adanya keterbukaan dan pengawasan yang lebih ketat dan kuat, maka orang berpikir dan berhitung berkali-kali untuk melakukan korupsi.
Rumah digeledah, kantor diobok-obok oleh tim pemeriksa Korupsi untuk mencari bukti dokumen dugaan adanya tindak pidana korupsi. Ada yang "tinggal baju dalam", bahkan ada yang mungkin sampai "telanjang bulat".
Bayangkan saja. Semua surat atau yang diperkirakan sebagai dokumen yang disimpan di kantor atau rumah diambil dan selanjutnya dibuka dan diperiksa satu per satu oleh aparat yang berwenang. Dapat dipastikan, ada surat-surat pribadi dari keluarga atau pengurus salah satu organisasi yang tidak ada kaitannya dengan dugaan korupsi dan penyuapan, ikut terbawa oleh tim pemeriksa. Boleh jadi akan timbul aib pada keluarga yang bersangkutan.
Tetapi, itu semua adalah konsekuensi dari upaya pemerintah untuk menindak mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Diharapkan tindakan para penyidik dapat menimbulkan sifat deterrent bagi mereka yang masih mau mencoba-coba untuk berbuat korupsi.
Karena itulah Wakil Presiden menyatakan, "Saat ini orang mulai takut melakukan korupsi." Rasa takut itu sudah tercipta, baik di jajaran pemerintahan, swasta maupun masyarakat. (Suara Karya, 3 Januari 2005).
Saya berpendapat, mudah-mudahan rasa takut tersebut berkaitan dengan mulai tumbuhnya kesadaran hukum, sehingga dapat mencegah perbuatan korupsi. Di samping rasa takut, juga ada rasa malu. Sebagaimana diungkapkan Jusuf Kalla, yang mengaku malu partai politik disebut sebagai lembaga yang paling korup. Seperti dilaporkan Tranparansi Internasional Indonesia, parpol dinilai paling korup. Padahal, Jusuf Kalla sendiri adalah Ketua Umum Partai Golkar.
Wakil Presiden saat memberikan sambutan dalam peluncuran buku Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia di Gedung Bursa Effek Jakarta mengatakan, "Karena Partai Golkar adalah partai terbesar dan saya ketua umumnya, maka termasuk saya yang mempunyai tanggung jawab paling besar".
Persoalannya adalah sampai sejauh mana putusan pengadilan bisa menimbulkan efek jera, sehingga orang akan berpikir berulang-ulang untuk melakukan perbuatan korupsi. Jangan marah, kalau saya katakan Partai Golkar harus mawas diri, agar jangan kemaluan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Balai Pustaka 2001, yang dimaksud dengan "kemaluan" tidak selalu berarti ada kaitannya dengan alat kelamin pria atau wanita. "Kemaluan" artinya "mendapat malu". Contoh kalimatnya berbunyi: "Terpaksa kita kabulkan kehendaknya, supaya kita jangan kemaluan." Contoh kalimat lain dengan tema "takut" berbunyi: "Putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman berat, membuat orang ketakutan."
Wapres Jusuf Kalla juga berbicara masalah keterbukaan dan pengawasan. Saya setuju dengan pendapat Wapres Jusuf Kalla.
Keterbukaan, menurut saya, sangat penting agar semua mengetahui apa yang hendak dicapai dan bagaimana cara mencapainya. Melalui keterbukaan, semuanya berlangsung dengan terang, jelas dan tidak remang-remang (terang tidak, gelap juga tidak) sebab dalam keterbukaan akan terlihat jelas, yang salah tampak salah dan yang benar tampak benar.
Pengawasan diperlukan bukan karena kurang kepercayaan dan bukan pula ditujukan untuk mencari-cari kesalahan atau mencari siapa yang salah, tetapi untuk memahami apa yang salah sebagai bahan untuk memperbaiki langkah-langkah ke depan. Pengawasan harus diterima sebagai sesuatu yang wajar oleh semua pihak, bukan sebagai sesuatu yang menyinggung perasaan atau mencurigai. Jika pengertian ini disadari, maka tidak perlu ada rasa "ewuh pakewuh" dalam menjalankan tugas pengawasan.
Pembinaan Manusia
Persoalan lebih lanjut adalah bagaimana kita semua masih tetap mampu mempertahankan, menciptakan dan memelihara "iklim takut korupsi" dan "budaya malu korupsi". Pada tahap ini, maka faktor pembinaan manusia perlu diperhatikan. Kalau tidak ada pembinaan ke arah kesadaran hukum, maka akan kembali lagi timbul penyakit kronis korupsi. Perlu direnungkan sebuah pemeo, korupsi itu sama tuanya dengan pelacuran. Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang paling tua. Pernah ada Keppres tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Dulu ada TPK, sekarang ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Pada saat menandatangani Inpres No 5/2004 tanggal 9 Desember 2004, Presiden mengatakan, "Sungguh menyedihkan bila bangsa kita dijuluki sebagai bangsa yang korupsi walaupun korupsi juga terjadi di negara-negara lain."
Untuk selanjutnya kebijaksanaan pemerintah perlu diarahkan tidak hanya pada upaya-upaya penegakan hukum yang bersifat represif, tapi perlu dimulai langkah-langkah mengenai faktor pembinaan kesadaran hukum manusia yang bersifat preventif.
Ada petuah kuno mengatakan: "Kalau engkau ingin cepat mendapat hasil, tanamlah tanaman palawija seperti singkong, jagung. Tapi, kalau engkau ingin mendapat hasil yang lebih lama, tanamlah tanaman keras, seperti kopi, karet, jati. Sedangkan kalau engkau ingin mendapat hasil seumur hidup, binalah manusianya."
Pembinaan hendaknya terfokus pada arah terbentuknya "manusia sadar hukum", masyarakat sadar hukum" dan "penyelenggara negara sadar hukum". Insya Allah. ***
Penulis mantan Jaksa Agung danmantan Menteri Kehakiman.

SPONSORED LINKS
Conservative politi
Bali indonesia
Indonesia hotel
Organizational politics
YAHOO! GROUPS LINKS
Visit your group "nasional-list" on the web.
To unsubscribe from this group, send an email to: mailto:nasional-list-unsubscribe@yahoogroups.com?subject=Unsubscribe
Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.


Zahra Chairani: Menciptakan Sang Juara Melalui Strategi MI

http://www.indomedia.com/bpost/012006/12/opini/opini1.htm

Menciptakan Sang Juara Melalui Strategi MI
Oleh : Zahra Chairani MPd
Tiga tahun belakangan ini, pemerintah giat berupaya melakukan perbaikan mutu pendidikan. Di antaranya, pada kurikulum yang dikenal dengan Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Meskipun sampai saat ini, belum memberikan gambaran yang jelas dalam penerapannya.
Bagi banyak guru, penerapan Kurikulum 2004 ke depan merupakan beban yang harus dipikul mereka. Di antara ketidaktahuan dan ketidakmengertiannya --mungkin mengerti sedikit tetapi masih ragu-- ataupun merasa tahu karena pernah membaca dan mengikuti sosialisasi atau penataran, mencoba melaksanakannya tapi masih merasa sulit dan enggan melanjutkan. Mereka melangkah dalam keraguan, mencoba untuk memahami dan melaksanakan tanpa ada yang bisa memberikan pendapat: apakah yang dilakukannya sudah benar atau belum atau memang salah sama sekali.
Oleh karena itu, tidak aneh kalau kurikulum baru ini dipelesetkan menjadi ‘Kurikulum Bikin Kebingungan’, ‘Kurikulum Bikin Kisruh’, ‘Kurikulum Beban Kerja’, ‘Kurikulum Berbasis Keraguan’, dan masih banyak lagi istilah yang semuanya ‘mengejek’ keberadaan kurikulum baru ini.
Seorang ahli pendidikan bisa saja memberikan sosialisasi tentang Kurikulum 2004, tetapi sampai pada teknis penerapan di lapangan belum dapat memberikan gambaran jelas bagi guru untuk menerapkannya. Keraguan itu berjalan sampai saat ini. Tetapi meski dalam keraguan, pendidikan harus terus berjalan dan tanpa terasa prestasi demi prestasi diraih tanpa harus mengatakan apakah itu hasil dari penerapan Kurikulum 2004 atau penggunaan kurikulum yang terdahulu.
Dalam keraguan saja kita bisa menghasilkan prestasi, apalagi bila tidak ragu-ragu. Itu mungkin kalimat yang memberikan motivasi bagi sekolah, untuk mencoba melangkah dan mencari bentuk inovasi dan kreativitas yang dapat lebih banyak mengangkat prestasi di sekolahnya.
Semangat dan memiliki pengetahuan untuk menyalurkannya merupakan hal yang sangat penting. Bukan hal yang mustahil kalau umumnya guru kita juga punya keinginan untuk menciptakan sang juara di sekolahnya. Menciptakan input rendah menjadi berkualitas, mungkinkah? Jawabnya, mengapa tidak.
Mari kita coba menggali kecerdasan apa saja yang dimiliki murid di sekolahnya menggunakan strategi yang dapat diyakini, dipahami dan dilaksanakan tanpa merasa ragu. Tulisan ini, memberikan gagasan dan pemikiran kepada sekolah dalam upaya menerapkan strategi untuk dapat menciptakan juara di sekolahnya.
Konsep MI
Konsep Multiple Intelegensi (MI), menurut Gardner (1983) dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple intelegences, ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki setiap individu yaitu linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Melalui delapan jenis kecerdasan ini, setiap individu mengakses informasi yang akan masuk ke dalam dirinya. Karena itu Amstrong (2002) menyebutkan, kecerdasan tersebut merupakan modalitas untuk melejitkan kemampuan setiap siswa dan menjadikan mereka sebagai sang juara, karena pada dasarnya setiap anak cerdas.
Sebelum menerapkan MI sebagai suatu strategi dalam pengembangan potensi seseorang, perlu kita kenali atau pahami ciri-ciri yang dimiliki seseorang.
1. Kecerdasan Linguistik, umumnya memiliki ciri antara lain (a) suka menulis kreatif, (b) suka mengarang kisah khayal atau menceritakan lelucon, (c) sangat hafal nama, tempat, tanggal atau hal-hal kecil, (d) membaca di waktu senggang, (e) mengeja kata dengan tepat dan mudah, (f) suka mengisi teka-teki silang, (f) menikmati dengan cara mendengarkan, (g) unggul dalam mata pelajaran bahasa (membaca, menulis dan berkomunikasi).
2. Kecerdasan Matematika-Logis, cirinya antara lain: (a) menghitung problem aritmatika dengan cepat di luar kepala, (b) suka mengajukan pertanyaan yang sifatnya analisis, misalnya mengapa hujan turun?, (c) ahli dalam permainan catur, halma dsb, (d) mampu menjelaskan masalah secara logis, (d) suka merancang eksperimen untuk membuktikan sesuatu, (e) menghabiskan waktu dengan permainan logika seperti teka-teki, berprestasi dalam Matematika dan IPA.
3. Kecerdasan Spasial dicirikan antara lain: (a) memberikan gambaran visual yang jelas ketika menjelaskan sesuatu, (b) mudah membaca peta atau diagram, (c) menggambar sosok orang atau benda persis aslinya, (d) senang melihat film, slide, foto, atau karya seni lainnya, (e) sangat menikmati kegiatan visual, seperti teka-teki atau sejenisnya, (f) suka melamun dan berfantasi, (g) mencoret-coret di atas kertas atau buku tugas sekolah, (h) lebih memahamai informasi lewat gambar daripada kata-kata atau uraian, (i) menonjol dalam mata pelajaran seni.
4. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani, memiliki ciri: (a) banyak bergerak ketika duduk atau mendengarkan sesuatu, (b) aktif dalam kegiatan fisik seperti berenang, bersepeda, hiking atau skateboard, (c) perlu menyentuh sesuatu yang sedang dipelajarinya, (d) menikmati kegiatan melompat, lari, gulat atau kegiatan fisik lainnya, (e) memperlihatkan keterampilan dalam bidang kerajinan tangan seperti mengukir, menjahit, memahat, (f) pandai menirukan gerakan, kebiasaan atau prilaku orang lain, (g) bereaksi secara fisik terhadap jawaban masalah yang dihadapinya, (h) suka membongkar berbagai benda kemudian menyusunnya lagi, (i) berprestasi dalam mata pelajaran olahraga dan yang bersifat kompetitif.
5. Kecerdasan Musikal memiliki ciri antara lain: (a) suka memainkan alat musik di rumah atau di sekolah, (b) mudah mengingat melodi suatu lagu, (c) lebih bisa belajar dengan iringan musik, (d) bernyanyi atau bersenandung untuk diri sendiri atau orang lain, (e) mudah mengikuti irama musik, (f) mempunyai suara bagus untuk bernyanyi, (g) berprestasi bagus dalam mata pelajaran musik.
6. Kecerdasan Interpersonal memiliki ciri antara lain: (a) mempunyai banyak teman, (b) suka bersosialisasi di sekolah atau di lingkungan tempat tinggalnya, (c) banyak terlibat dalam kegiatan kelompok di luar jam sekolah, (d) berperan sebagai penengah ketika terjadi konflik antartemannya, (e) berempati besar terhadap perasaan atau penderitaan orang lain, (f) sangat menikmati pekerjaan mengajari orang lain, (g) berbakat menjadi pemimpin dan berperestasi dalam mata pelajaran ilmu sosial.
7. Kecerdasan Intrapersonal memiliki ciri antara lain: (a) memperlihatkan sikap independen dan kemauan kuat, (b) bekerja atau belajar dengan baik seorang diri, (c) memiliki rasa percaya diri yang tinggi, (d) banyak belajar dari kesalahan masa lalu, (e) berpikir fokus dan terarah pada pencapaian tujuan, (f) banyak terlibat dalam hobi atau proyek yang dikerjakan sendiri.
8. Kecerdasan Naturalis, memiliki ciri antara lain: (a) suka dan akrab pada berbagai hewan peliharaan, (b) sangat menikmati berjalan-jalan di alam terbuka, (c) suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara binatang, (d) menghabiskan waktu di dekat akuarium atau sistem kehidupan alam, (e) suka membawa pulang serangga, daun bunga atau benda alam lainnya, (f) berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan hidup.
Keunikan yang dikemukakan Gardner adalah, setiap kecerdasan dalam upaya mengelola informasi bekerja secara spasial dalam sistem otak manusia. Tetapi pada saat mengeluarkannya, ke delapan jenis kecerdasan itu bekerjasama untuk menghasilkan informasi sesuai yang dibutuhkan.
MI Dan KDI
KDI yang dilaksanakan di Kota Banjarmasin mendapat dukungan positif dari gubernur dan dinas pendidikan. Secara tidak langsung dan tanpa disadari adalah, suatu bentuk penggalian potensi remaja dalam bentuk Kecerdasan Musikal. Dalam kegiatan ini, mereka juga bertemu kontestan lain dan saling berkenalan, menukar pengalaman, dan berkomunikasi secara sosial. Tanpa disadari, kegiatan yang mereka lakukan merupakan penggalian potensi dalam Kecerdasan Interpersonal.
Lomba ini juga menginginkan kontestan membawakan lagunya dengan gaya koreonya dan penampilan yang bisa menarik penontonnya, ini adalah Kecerdasan Kinestetik-Jasmani. Bahkan jiwa kompetisi dengan memperlihatkan kemauan kuat, mau belajar, memiliki rasa percaya diri yang tinggi, bepikir fokus dan terarah pada pencapaian tujuan merupakan suatu Kecerdasarn Intrapersonal. KDI merupakan ajang di mana empat macam kecerdasan dapat dimunculkan dalam suatu kegiatan. Tentu saja tidak semua remaja, mau dan mampu mengembangkan potensi tersebut.
Mungkin ide atau gagasan dari KDI ini dapat dimulai dalam lingkup kecil, yaitu sekolah. Kita tidak usah khawatir pada over acting anak-anak kita. Rambu perlu dirancang dengan baik, agar kegiatan yang semula ingin diambil positifnya menjadi kebablasan. Sekolah bisa saja mengadakan kegiatan serupa secara selektif. Misalnya, kalau goyang diberi batasan agar tidak terlalu goyang karena yang dinilai dari lomba itu bukan goyangnya, tetapi keserasian dari penampilan. Dalam berpakaian harus menutup aurat, tetapi tetap dapat memukau penonton karena yang dipentingkan kemampuan membawakan lagu dengan baik. Kita dapat saja mengambilkan contoh penyanyi dari Malaysia, Siti Nurhalizah, yang bisa tenar dan ngetop tanpa harus menggunakan busana buka-bukaan serta goyang yang terlalu wah.
Dari KDI kita mengharapkan juara yang memang memiliki multiple kecerdasan tanpa melupakan keterbatasan ditinjau dari segi agama, norma dan adat istiadat yang berlaku di daerah kita.
Gambaran tersebut hanya merupakan salah satu contoh, di mana kita bisa menciptakan juara di sekolah dengan memahami karakteristik setiap kecerdasan. Semakin banyak kecerdasan yang muncul dalam kegiatan yang dirancang, semakin banyak pula juara yang dapat dilahirkan di sekolah.
Banyak kegiatan yang dapat kita lakukan berdasarkan pada ciri dari berbagai kecerdasan di atas, yang tentunya dapat diperdalam dengan mencari literatur yang lebih lengkap. Mari kita coba berkreasi untuk menggali potensi anak-anak kita. Mungkin dari input rendah, tetapi akan dapat menjadi juara sesuai kecerdasan yang dimilikinya. Semoga.
* Widyaiswara Madya pada LPMP Kalsel, tinggal di Banjarmasin
YAHOO! GROUPS LINKS
Visit your group "nasional-list" on the web.
To unsubscribe from this group, send an email to: nasional-list-unsubscribe@yahoogroups.com
Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.


Hartojo Wignjowijoto: Agenda Imaginer Menko Perekonomian

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=132294


Agenda Imaginer Menko Perekonomian

Oleh Hartojo Wignjowijoto
Rabu, 11 Januari 2006Tajuk Rencana Suara Karya, Sabtu, 7 Januari 2006 berjudul "Efektivitas Tim Monitoring Utang" menyoroti gagasan Menko Perekonomian Boediono membentuk tim monitoring pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri. Intisari tajuk tersebut sederhana saja, ingin berpesan kepada Menko Ekuin bahwa sulit mencari orang yang bisa dipercaya di negara ini.

Tapi, betulkah dari 230 juta orang jumlah penduduk Indonesia, tidak ada yang bisa dipercaya? Tapi semua itu baru merupakan wacana. Pejabat-pejabat kita memang lebih suka mengadakan rapat-rapat daripada menunjukkan kinerjanya. Kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama ini juga tidak efektif. Janjinya untuk melakukan perubahan -- terutama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat -- hingga kini belum terwujud. Pemerintahan SBY-JK belum mampu mewujudkan kesejahteraan kehidupan rakyat.
Sejak zaman Soeharto, kesejahteraan yang terjadi adalah kesejahteraan semu. Karena itulah kesejahteraan tersebut hilang dengan sendirinya begitu krisis keuangan terjadi di bulan Juli 1997.

Sebagai bangsa, kita ini seperti hidup di dunia fantasi, dunia wacana. Karena itu saya pun hanya ingin membuat agenda fantasi atau imaginer tentang Tim Monitoring Proyek-proyek. Yakni, proyek yang dibiayai oleh utang, baik utang dalam maupun luar negeri, termasuk "proyek industri korupsi" dari soft loan (pinjaman lunak) yang ternyata hard loan (pinjaman komersial) dari negara donor. Negara donor itulah yang membikin horor kehidupan rakyat Indonesia selama lebih dari 32 tahun, bahkan hampir 40 tahun (1967-1998 dan 1998-2005). Pertanyaannya, kenapa baru sekarang dibuat Tim Monitoring Utang? Tapi, itu baru wacana. Boleh jadi, itu hanya omdo alias omong doang.

Agenda pertama menyangkut Odious Debts, yakni utang yang disalah-gunakan menjadi sumber pemasukan korupsi untuk melanggengkan kekuasaan. Sudah tiba waktunya utang masa lalu yang hingga hari ini sangat membebani APBN dan bahkan membebani generasi yang akan datang, perlu ditinjau kembali.

Odious Debts atau utang yang dikorupsi bisa dilakukan melalui kelembagaan utang, seperti dipersyaratkan oleh negara pemberi utang. Misalnya, perlu ada Processing Agent, dan konon sudah ditandatangani Boediono. Namun kesepakatan ini ternyata telah mencabut Diplomatic Immunity seorang Dubes RI. Kedaulatan rakyat Indonesia hilang begitu saja demi permintaan negeri pemberi pinjaman, yang membutuhkan Processing Agent. Lembaga ini tugasnya memroses cairnya utang, termasuk urusan persyaratan Technical Assistance yang dikomando oleh Technical Specification untuk persyaratan cairnya utang. Jumlah utang pun bisa digelembungkan tiga kali pada waktu utang cair.

Ini semua saya sebut Institutional Insiders, yaitu para pejabat tinggi pemerintah RI yang telah melibatkan diri dalam The White Collar Monetary Crime. Inilah yang mestinya juga menjadi objek pemberantasan korupsi, sesuai janji SBY waktu kampanye.

Kedua, Export Credits. Yakni, akal-akalan negara yang memberi kredit untuk ekspor. Mereka pun bisa membeli barang berupa bahan baku mentah dari Indonesia dengan diskon yang aduhai.

Ketiga, Special Vehicle Company (SVC). Ini ada di Cayman Island, Bahama dan lima tax heaven lainnya di dunia. SCV didirikan oleh orang asing dan orang Indonesia, sebagai Processing Agents untuk memperoleh tender dalam rangka mencairkan utang, baik utang lunak maupun utang komersial. SPV berperan penting sebagai distributor sumber dana korupsi, baik bagi pemberi pinjaman maupun bagi para pejabat Republik Indonesia yang berkaitan dengan pemberian utang.

Keempat, Blue Book Bappenas. Sudah menjadi rahasia umum di zaman Orde Baru, bahwa Bappenas bukan memikirkan perencanaan jangka pendek, menengah dan jangka panjang dalam arti sesungguhnya. Bappenas lebih merupakan instrumen untuk "memroses adanya Rupiah Counterpart" bagi dana pinjaman.

Agenda kedua menyangkut utang dan perbudakan, karena utang sama saja "petunjuk" di dalam peta jalan (road map) menuju ke sistem perbudakan. Bangsa yang tidak memiliki integrity dan keterampilan, atau bangsa yang suka berutang, sudah otomatis memasuki sistem perbudakan.
Lihat, masalah ijon di kampung-kampung perikanan dan ijon bagi petani miskin. Untuk menyambung hidup, mereka sangat tergantung pada pembiayaan utang lewat sistem ijon, dan akhirnya mereka selamanya terpaksa hidup menggantungkan pada belas kasihan cukong yang memberi utang.

Agenda ketiga, mengapa kita berutang? Jawabannya, karena orang Indonesia suka konsumsi yang berlebihan (conspicuous comsumption). Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5%, misalnya, didorong oleh konsumsi. Dan, memang, kecepatan pendapatan orang Indonesia lebih rendah ketimbang kecepatan larinya tingkat konsumsi. Sehingga, tidak ada sisa untuk tabungan atau untuk cadangan, sehingga akhirnya ditutup dengan utang.

Agenda keempat, utang sebagai instrumen politik untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam budaya Jawa ada ungkapan, "Nek utang, nyaur rembug, utang gethuk nyaur telo." Bahasa asingnya debt restructuring, debt swap, moratorium, profiling. Arti aslinya: ngemplang, karena utang dianggap sebagai penghasilan, karena itu tidak usah dibayar.
Agenda kelima, stop hutang. Alternatifnya, kita harus bekerja dengan cerdas dan tekun. Konsumsi tersiernya sandang, pangan, perumahan dan "membaca" atau selalu menambah pengetahuan. Ketiga jenis konsumsi bisa dipenuhi tanpa utang.

Kesimpulannya: karena tulisan ini hanya merupakan agenda imaginer atau agenda di dunia fantasi, maka kelima agenda itu bisa dipakai untuk topik pilihan wacana dan seminar setiap hari. Bisa juga untuk topik rapat-rapat "Kabinet IMF".

Sebagai penutup, saya ingin menyitir kata-kata Mahatma Gandhi tahun 1942. Setidaknya ada tujuh "dosa" yang mematikan suatu bangsa, antara lain, politik tanpa prinsip alias janji doang; kaya tanpa kerja, intelektual tanpa hati nurani atau pelacuran intelektual, seperti tim ekonomi "Mafia Berkeley".

Kata Gandhi, kebutuhan manusia di dunia ini bisa dipuaskan oleh seluruh sumber daya alam di dunia, tetapi kebutuhan sekelompok yang tamak tidak bisa dipenuhi oleh sumber daya alam di dunia ini. Kini, ada sekitar 5.000 keluarga super-kaya di Indonesia dengan deposito rata-rata minimal 6 juta dolar AS per keluarga. Mereka menyembunyikan uangnja di rekening pribadi di Private Banking di Singapura, Hong Kong dan Jeneva. Mereka ini tamak dan suka utang. Mereka pula yang kini berpesta di atas kematian orang lain.***

Penulis pendiri dan Ketua Lembaga Studi Kapasitas Nasional (LSKN)

YAHOO! GROUPS LINKS
Visit your group "nasional-list" on the web.
To unsubscribe from this group, send an email to: nasional-list-unsubscribe@yahoogroups.com
Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.


Bisnis Indonesia: Membalik siklus?

http://www.bisnis.com/pls/PORTAL30/url/page/bisnis_indpnesia_harian?VNW__lang_id=2&ptopik=A12&cdate=11-JAN-2006

Tajuk

Membalik siklus?

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Senin, 9 Januari 2006, berketetapan melanjutkan kebijakan moneter cenderung ketat, sebagai upaya pengendalian inflasi. Karena itu, tingkat bunga BI Rate, yang menjadi acuan bagi penetapan bunga pasar oleh perbankan, dipertahankan tetap pada level 12,75%.
Penentu kebijakan moneter itu memandang tekanan inflasi ke depan masih tetap tinggi sehubungan dengan tingginya ekspektasi, meskipun pada Desember 2005 terjadi deflasi. Artinya, meskipun belum terlihat arah penurunan suku bunga, kebijakan BI menahan kenaikan suku bunga menandakan adanya upaya mengerem kenaikan tingkat bunga yang terus dilakukan sejak tahun lalu. Apakah ini merupakan titik balik kebijakan suku bunga bank sentral?
Kita hanya bisa menunggu. Tetapi tak salah jika bank sentral mulai memberi sinyal pelonggaran kebijakan moneter. Menghentikan laju kenaikan bunga, untuk tahapan sekarang, sudah sangat memadai. Barangkali dalam rapat dewan gubernur bulan depan, BI sudah kian berani menunjukkan sinyal ke arah penurunan suku bunga, dengan cara-meminjam bahasa The Fed-"hati-hati dan terukur."
Sinyal ke arah itu patut diperlihatkan, lantaran sejumlah faktor mulai memberikan topangan sekali pun masih terdapat sejumlah risiko. Beberapa risiko memang masih mungkin muncul, seperti kerentanan harga minyak mentah dunia, ketidakseimbangan global, dan masih berlangsungnya siklus moneter ketat pada perekonomian global, yang dapat memberikan tekanan terhadap kestabilan nilai tukar.
Tetapi jangan lupa, terdapat faktor penunjang titik balik kebijakan, terutama berasal dari lingkungan eksternal, seperti siklus kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed), yang agaknya akan berakhir awal tahun ini.
Lalu Jepang segera memulai proses panjang keluar dari kebijakan moneter sangat akomodatif pada paruh kedua tahun ini, sedangkan dolar AS akan cenderung berbalik melemah ketimbang menguat. Ada prognosa lain bahwa permintaan minyak mentah dunia akan melembek akibat harga yang tinggi, sehingga tren kenaikan harga sejak 2002 pada akhirnya akan berhenti.
Lingkungan eksternal itu semoga saja menjadi landasan yang kokoh bagi transisi kebijakan bank sentral. Pasalnya, dunia usaha butuh ekspansi, begitu pula perbankan perlu lingkungan bisnis ekspansif untuk mencetak margin keuntungan yang diharapkan.
Namun sia-sia saja mengharapkan bank sentral mengendurkan kebijakan moneternya untuk menolong ekonomi jika pemerintah tidak memberikan angin segar di sisi fiskal, guna merangsang aktivitas yang lebih nyaman bagi dunia usaha, khususnya mendorong gairah investasi dan ekspor.
Jika pemerintah mampu mewujudkan langkah-langkah perbaikan iklim investasi dan sektor riil, dibarengi dengan konsistensi bank sentral, pertumbuhan ekonomi tahun ini bukan tidak mungkin akan jauh lebih baik ketimbang pesimisme banyak orang.


Tampilan Cetak


Imam Muhlis: Mengajak petani bangkit dari tidur

http://www.bisnis.com/pls/PORTAL30/url/page/bisnis_indonesia_harian?vnw_lang_id=2&cdate=11-JAN-2006&ptopik=A57
Opini

Mengajak petani bangkit dari tidur
Mari kita buka tahun 2006 dengan optimisme bahwa Indonesia akan bebas dari orang miskin. Inilah formula pemerintah yang sering diutarakan. Namun faktanya, kemiskinan tetap saja merupakan gambaran umum perdesaan di Indonesia. Kondisi ini sudah mengakar dalam struktur masyarakat pedesaan kita sejak lama. Apa penyebabnya?
Pertama, struktur agraris yang timpang dalam kepemilikan lahan. Rata-rata petani memiliki 0,5 ha tanah, sehingga diolah dengan cara apa pun tak akan mampu meningkatkan pendapatan kaum tani.
Kedua, hilangnya kearifan lokal dalam proses produksi pertanian (petani didorong menggunakan sistem pertanian konvensional yang high input) dan hilangnya budaya lokal di dalam pengelolaan pascapanen, seperti sistem lumbung sebagai tabungan bersama dan antisipasi persediaan pangan saat musim paceklik hilang.
Petani kini berlomba menjual padi saat panen, bahkan tak sedikit tengkulak masuk sawah saat petani panen. Petani yang sabar dan mau menjemur padi di rumah kemudian menyimpannya, sudah langka kita temukan. Para petani dininabobokan sistem kapitalisme yang hanya merugikan mereka itu sendiri.
Ketiga, politisasi bidang pertanian. Di Indonesia, sedikitnya ada empat kebijakan yang kini mengatur persoalan pertanian, yakni kebijakan beras impor, kebijakan mencabut subsidi pupuk, kebijakan pengendalian harga dasar gabah oleh Bulog, dan yang lebih parah adalah kebijakan penyediaan lahan untuk kepentingan umum.
Keempat, kebijakan tersebut kalau dianalisis secara tajam tidak satu pun berpihak kepada kaum petani. Padahal, jauh sebelum krisis ekonomi banyak kritikan yang ditujukan kepada pemerintah mengenai paradigma dan strategi pembangunan nasional yang terlalu menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan sektor industri sebagai lokomotifnya.
Dalam konteks ini sektor pertanian hanya dijadikan ladang penanaman modal dan sumber subsidi untuk kepentingan industrialisasi. Hal ini berdampak pada banyaknya korban pengangguran, terutama kaum perempuan di pedesaan, sebagai akibat modernisasi dan mekanisasi di sektor pertanian.
Itulah yang disebut sebagai kegagalan proyek demokrasi modern yang terlampau beriman pada kredo (neo) liberalisme. Itu juga yang menjadi kritik Laclau (1988) dan Mouffe (1988, 2000, 2005), dua pemikir kiri yang menganut posmodernisme, terhadap demokrasi-Liberal.
Jawaban atas persoalan itu, menurut Laclau-Mouffe, adalah 'revolusi demokrasi', yakni suatu upaya 'demokratisasi demokrasi' agar politik betul-betul menciptakan kebaikan umum (bonum commune) dan keadilan (justitia) yang konkret.
Pembaruan agraria yang dulu diyakini sebagai salah satu konsep pembaruan sosial ekonomi di pedesaan, kini oleh negara tidak lagi dipandang sebagai jalan strategis untuk membangun tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.
Padahal, melalui reformasi agraria, ada pemerataan dan sekaligus pertumbuhan karena redistribusi lahan dilakukan, ada keadilan karena aspek produksi ditata, dan ada keberanian karena petani bebas menentukan pilihannya, termasuk bebas berorganisasi.

Jalan pintas

Dalam membangun ekonomi pedesaan, pemerintah justru memilih jalan pintas, yakni Revolusi Hijau tanpa pembaruan agraria atau sebagaimana yang disebut Rahman Sobhan sebagai development without social transition (Gunawan Wiradi, 1999). Padahal, proyek kebanggaan Orde Baru tersebut meninggalkan potret cukup buram bagi petani di Indonesia.
Secara ekonomis, dengan proyek Revolusi Hijau, menyebabkan jutaan petani menjadi miskin karena tidak memiliki akses yang cukup, baik akses modal maupun pasar. Sementara, yang paling diuntungkan adalah produsen pupuk, pestisida dan benih, serta petani yang bermodal kuat. Jumlah mereka jauh lebih sedikit ketimbang petani umumnya.
Secara politis, dengan Revolusi Hijau menyebabkan hak dan kreativitas petani petani hilang karena adanya pemaksaan sistem dari pemerintah. Inilah yang disebut Charles E Lindblom (1977:134-135) dalam bukunya Politics and Markets sebagai kegagalan pemerintah dalam menentukan pilihan politik antara apa yang menjadi prioritas dan apa yang bukan prioritas.
Karena itu, tidak berlebihan bila mengajak kaum tani, untuk bangkit dari tidur panjang di atas dipan dan kasur kapitalisme. Mari kita bangun kesadaran untuk mengubah perilaku menjadi mandiri. Mari kita perjuangkan hak-hak kita yang seharusnya diberikan dan dilindungi negara. Sistem telah berubah, tapi kemerdekaan dan hak-hak petani masih ter-abaikan.
Salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk membangun kemerdekaan dan kemandirian petani adalah dengan cara membangun kesadarannya untuk beralih ke model pertanian alternatif, semisal pertanian organik. Meskipun tidak mudah mengubah perilaku dan pola pikir ini karena petani telah dibius dan dininibobokkan lebih dari 30 tahun.
Jadi, jika ini benar-benar direalisasikan maka tahun 2006 nasib kaum tani bisa dientaskan dari kemiskinan.

Oleh Imam Muhlis Direktur Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Advokasia, Yogyakarta


William Pesek Jr.: Asian business lessons from 'Memoirs of a Geisha'

Published January 11, 2006
http://business-times.asia1.com.sg/sub/views/story/0,4574,182482,00.html?

Asian business lessons from 'Memoirs of a Geisha'

By WILLIAM PESEK JR

ROGER Ebert put it well: 'I suspect that the more you know about Japan and movies, the less you will enjoy Memoirs of a Geisha.'Showing how not to do it: Chinese actress Zhang Ziyi with Japanese actor Ken Watanabe in "Memoirs of a Geisha'. The real story behind the movie ruckus is that corporate Japan needs to think more globally.So began the Chicago Sun Times critic's review of a film that's created more hard feelings than buzz in Asia. It's not the reception US director Rob Marshall anticipated; he thought completing the first big-budget Hollywood production with an all- Asian cast would endear him to Asian audiences.Yet Japanese have been put off by the casting of Chinese in main roles and made claims of cultural insensitivity. Chinese are outraged that actresses Zhang Ziyi and Gong Li appear in a film that romanticises Japan during World War II - and that Zhang did a love scene with a Japanese man. Americans, meanwhile, seem indifferent, if tepid box-office receipts are any guide.The dust-up actually offers some insights for Asian governments trying to get along, corporate executives struggling to compete and investors grappling to make sense of it all.The film at the centre of this controversy isn't a very good one. A highly simplified adaptation of Arthur Golden's 1997 novel, it's the tale of a poor fisherman's daughter who is sold into quasi-slavery in Kyoto in 1929 and, against all odds, eventually becomes the city's reigning geisha.The subtleties of Golden's book, its almost Flaubertian attention to detail and historical context, are lost on the film. It's less about Japan or the stillness, grace and traditions of one of its most rarefied cultural icons than backstage bitchery.Above all, it's a movie about beautiful, exotically dressed women hissing and backstabbing to become Kyoto's premier geisha and win the men they love. At first glance, it seems like a Jane Austen tale with some Charles Dickens tossed in. The end product plays more like Desperate Housewives in kimonos.Even so, Geisha has become an unlikely flashpoint in Japan-Chinese relations. Timely, too.Asia's boom is fraught with risks including power struggles, high energy prices, terrorism, pollution and economic competition from the West. Sadly, the leaders of Japan and China can't even get in a room together and talk without trading recriminations over World War II. Just like director Marshall, the leaders of Japan and China are missing the real story and focusing on the theatrics surrounding it.Japan's qualms with Geisha miss a bigger point relevant to Asia's largest economy. Yes, a film with so specific a setting should star Japanese. While many seethe that major roles went to Zhang, Gong and Malaysian actress Michelle Yeoh, Marshall also has a point: his casting decisions reflect a dearth of internationally known Japanese actors who can speak English.After all, Hollywood wouldn't have made the film if it wouldn't appeal to the lucrative, yet subtitle-averse US market. One reason there are few globally known Japanese actors: Japan's large domestic market creates few incentives for film studios and actors to search for audiences or projects abroad.There's a lesson here for Japan Inc. Japanese are ravenous consumers and, until now, a 127 million-person market seemed big enough. As sales soared in the heady 1980s and stayed reasonably brisk during the recession-plagued 1990s, companies were slow to look abroad. Take the mobile telephone industry, for instance. It's an area in which gadget-crazy Japan is hard to beat; yet you can't use the vast majority of the phones or their functionality overseas.That insular focus is a problem amid Japan's rapidly ageing population and competition from countries such as South Korea. The real story behind the Geisha ruckus is that corporate Japan needs to think more globally.Japan's economy is recovering, as evidenced by last year's 40 per cent rally in the Nikkei 225 Stock Average. Yet Japan Inc's future prosperity depends on looking to new markets.Chinese critics are missing the point, too. Seeing homegrown actresses eclipse Japan's should be reason to celebrate China's rising dominance not only in the area of economics, but culture; instead, nationalist tendencies are spoiling this moment in the spotlight.When it comes to Asia's past, there's plenty of blame to go around. Japan needs to go further to apologise for its atrocities and its prime minister should stop visiting a Tokyo shrine honouring some convicted war criminals among the war dead. China isn't blameless either as it foments a volatile strain of nationalism that increasingly unnerves its neighbours in Asia.Finally, there's a lesson here for investors. While it may come as a surprise to folks in the West, Chinese, Japanese and Koreans don't think they look alike. Hollywood's who'd know-the-difference mindset in casting films is like how some investors view Asia: an undifferen tiated collection of nations that are hard to get their arms around.Asia's economies are incredibly diverse. Those who think China's rise is a repeat of Japan's do so at their own peril. The same is true of India's development versus China's. If you think Europe is having a tough time getting the 12 eurozone economies on a similar footing, just wait until Asia tries.Foreign filmmakers can take artistic licence with their casting decisions. They are free to make assumptions about Asians' appearances. But such oversimpli fication isn't an option for those looking to make money in the region. Respecting the vast differences that exist here may help investors find the Hollywood ending they seek. - BloombergThe writer is a columnist for Bloomberg News. The opinions expressed are his own.http://business-times.asia1.com.sg/sub/views/story/0,4574,182482,00.html?

TUESDAY, JANUARY 10, 2006



Zainal Arifin Mochtar: Cacat Konstitusionalisme kita

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=206260
Rabu, 11 Jan 2006,

Cacat Konstitusionalisme Kita

Oleh Zainal Arifin Mochtar


Bruce Ackerman (1991) membagi sifat konstitusi yang dapat menyokong kehidupan demokrasi menjadi dua yang sangat distingsif, yakni sifat konstitusi yang berasal dari rakyat (by people) dan dari pemerintahan (by government). Keduanya punya cara tersendiri. Gaya rakyat adalah aspirasi, sedangkan gaya pemerintahan adalah instruksi. Artinya, kehidupan konstitusi yang ideal itu sendiri merupakan abstraksi dari cara berpikir rakyat dan pemerintahan sehingga juga merupakan gabungan antara aspirasi dan instruksi. Sepanjang tahun 2005, Indonesia lebih banyak menampilkan wajah konstitusionalisme by government dibanding konstitusionalisme by people. Tiga cabang kekuasaan pemerintahan negara, yakni eksekutif, legislatif, dan judisial, lebih banyak berpikir secara instruksi dibanding berpikir secara aspirasi sehingga kebijakan pemerintahan lebih banyak merupakan hasil "berbicara" top-down daripada "mendengarkan" bottom-up.Tragedi kenaikan harga BBM merupakan abstraksi paling nyata dari konstitusionalisme oleh pemerintahan tersebut. Harga BBM dinaikkan oleh beleid pemerintah yang ditanggapi diam oleh DPR. DPR lebih memilih "kasak-kusuk" mencari kenaikan tunjangan dibanding memperjuangkan aspirasi rakyat. Mahkamah Agung (MA) juga menyerahkan sepenuhnya keputusan yang berimplikasi pada rakyat tersebut kepada pemerintah. Akhirnya, keputusan pemerintah menjadi sabda di tengah teriakan rakyat. Instruksi lebih kuat dibanding aspirasi. Akhirnya, rakyat menjerit dengan kenaikan tersebut. Mahkamah Konstitusi (MK) juga ikut menyumbang pada ketidakimbangan sifat konstitusionalisme pemerintahan dan konstitusionalisme rakyat. Contohnya, ketika MK memberikan putusan mengenai privatisasi terhadap sumber daya air. Meskipun para hakim mengakui realitas air sebagai hak yang seharusnya dijaminkan konstitusi, putusan telah berkata lain. Keinginan pemerintahan untuk mem-privatkan sektor sumber daya air lebih dominan dibanding aspirasi rakyat menolak hal tersebut. Putusan MK "pro" pada keinginan pemerintahan. Akhirnya, privatisasi di sektor sumber daya air malah mengancam jaminan hak masyarakat atas air.

Penafsiran Konstitusi

Konstitusi sesungguhnya adalah teks mati yang kemudian diberi arti melalui penafsiran terhadapnya. Penafsiran tersebut dalam wujud kehidupan tata negara. Ia menuju ke konstitusi rakyat atau menuju ke konstitusi pemerintahan adalah merupakan hasil penafsiran konstitusi. Ketika para pelaku ketatanegaraan berpikir dengan cara perintah dibanding aspirasi saat menafsirkan konstitusi, maka pada saat itu pula tercipta konstitusi pemerintahan. Kehidupan konstitusionalisme Indonesia saat ini telah dipengaruhi dua hal utama. Pertama, praktik ketatanegaraan yang digariskan konstitusi dan yang kedua tafsiran MK terhadap konstitusi itu sendiri. Malangnya, pada kedua hal tersebut, rakyat tidak diberi tempat dan porsi yang memadai. Hal itu sangat jauh berbeda dengan konstitusionalisme yang ideal dalam pandangan Mark Tushnet (1999), sebagai konstitusi yang dapat memberikan peran yang lapang bagi fungsi konstitutif pada konstituen (rakyat). Hanya memberikan peran yang besar pada gaya pemerintahan adalah cacat dalam konsep konstitusionalisme. Artinya, harus ada pertemuan peran yang baik antara fungsi kebijakan pemerintahan dan keinginan rakyat. Sebuah bangunan konstitusionalisme yang lebih populis.

Konstitusionalisme Populis

Melihat rumusan konstitusi kita, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menggagas konstitusionalisme populis tersebut. Pertama, melakukan amandemen kelima konstitusi Indonesia. Empat perubahan sebelumnya memperlihatkan perubahan yang belum selesai dan membawa masalah. Misalnya saja, pergeseran Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Pasal 33 yang dulunya berbicara dengan judul "Kesejahteraan Sosial", pasca perubahan digabung dengan Pasal 34 dengan judul "Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial". Artinya, pasca perubahan, aturan mengenai "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya..." bukan lagi demi kesejahteraan sosial semata, tapi juga diakui sebagai alat perekonomian nasional sehingga layak diperjualbelikan. Privatisasi yang dilakukan pada sektor ketenagalistrikan dan sumber daya air serta menuai banyak kritikan juga adalah konsekuensi pergeseran pasal itu pada amandemen konstitusi Indonesia. Lain hal adalah ketidakjelasan mengenai status lembaga negara. Penelitian yang dilakukan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) mengenai "Lembaga Negara dan Sengketa Lembaga Negara" (KRHN, 2005) memperlihatkan betapa aturan mengenai lembaga negara yang tercantum dalam UUD 1945 terlihat terlalu "liar" dan tidak tertata. Pada akhirnya, ini akan menjadi kerepotan tersendiri ketika sudah terjadi silang sengketa antarlembaga negara.Amandemen yang dilakukan harus dapat memasukkan beberapa unsur aspiratif yang lebih luas dan dapat melibatkan rakyat secara langsung. Tentu saja, ini akan menjadi tugas yang berat, apalagi mekanisme yang tersedia dan peta politis membuat proses amandemen kelima ini akan tidak mudah. Kedua, berharap pada MK. Jika ini diserahkan MK, maka MK harus mendekatkan sifat aspiratif dalam putusannya. MK juga harus membawa kehendak rakyat ke dalam putusannya, bukan sekadar berdasar teori ilmu hukum yang dianut para hakim. Konstitusi sebaiknya tidak diterjemahkan ke dalam gaya the pure theory of law a la Hans Kelsen, namun sebaiknya diterjemahkan dengan memasukkan unsur sosiologis masyarakat Indonesia.Karena itu, jika bangunan konstitusionalisme populis tersebut ingin diserahkan kepada MK, pekerjaan rumah pertama yang harus dilakukan MK adalah keluar dari belenggu penafsiran normatif dan positivisme hukum. Keluar dari kungkungan kaku ilmu hukum yang sering sangat "buta" pada aspirasi dan sering gagal memberikan tempat pada keinginan masyarakat. MK harus mengingat bahwa konstituen merupakan konstitusi hidup yang ikut memaknai konstitusi suatu negara.

Menuju Populis

Konstitusionalisme pemerintahan sudah saatnya ditinggalkan. Pelibatan seluruh rakyat harus menjadi angenda pemerintahan ke depan. Sudah terlalu lama konstitusionalisme yang nirpartisipatif dibangun oleh praktik ketatanegaraan kita. Cacat konstitusionalisme harus segera diperbaiki. Caranya, tentu saja dengan mengadopsi satu atau keduanya sekaligus, di antara amandemen kelima konstitusi atau mengandalkan MK untuk memberikan penjiwaan populis terhadap konstitusionalisme Indonesia. Namun, apa pun jalan yang dipilih, konstitusionalisme populis haruslah mendapatkan tempat utama, sebagai konstitusionalisme by people dan by government yang dapat menyokong kehidupan demokratis.*

Zainal Arifin Mochtar, staf pengajar Fakultas Hukum UGM Jogjakarta, kini tengah mengikuti Program LLM International Human Rights Law pada Northwestern University, Chicago atas beasiswa Fulbright. (email: ucengpushamuii@yahoo.com)

YAHOO! GROUPS LINKS
Visit your group "nasional-list" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: nasional-list-unsubscribe@yahoogroups.com
Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.


A.Umar Said: AJAKAN RENUNGAN TENTANG REHABILITASI KORBAN PERISTIWA 65

Catatan A. Umar Said

(tulisan ini juga disajikan dalam website
http://perso.club-internet.fr/kontak)


AJAKAN RENUNGAN TENTANG
REHABILITASI KORBAN PERISTIWA 65
Tulisan berikut ini merupakan dukungan kepada petisi tentang rehabilitasi umum bagi para korban peristiwa 65 yang telah disampaikan hampir sebulan yang lalu (13 Desember 2005) oleh LPR-KROB, LPKP dan Pakorba, kepada Presiden SBY dan Ketua DPR RI Agung Leksono. Sekaligus juga merupakan ajakan kepada para penyelenggara negara dan semua kalangan atau golongan dalam masyarakat kita untuk ikut merenungkan berbagai aspek dari masalah yang merupakan aib besar dan dosa berat bagi Republik Indonesia yang kita cintai bersama ini.
Petisi tentang rehabilitasi para korban peristiwa 65 ini, sekali lagi mengingatkan kita semua, bahwa di tengah-tengah banyaknya urusan-urusan politik-sosial-ekonomi yang rumit dan merajalelanya korupsi dewasa ini, ada soal yang tidak bisa – dan tidak boleh ! – dilupakan atau diremehkan begitu saja, yaitu masalah rehabilitasi para korban peristiwa 65.

Adalah penting sekali disadari oleh para tokoh negara kita (termasuk pimpinan TNI-AD) dan para pemuka golongan dalam masyarakat (termasuk tokoh-tokoh Islam) bahwa rehabilitasi para korban peristiwa 65 ini tidak hanya untuk kepentingan para korban peristiwa 65 melulu, atau untuk kepentingan para eks-tapol beserta keluarga mereka saja, atau untuk kepentingan para mantan anggota PKI beserta simpatisan-simpatisannya saja. Bukan, tidak hanya terbatas untuk kepentingan mereka saja, melainkan lebih dari itu semua !!! Jangkauannya lebih jauh dan lebih luas, dan dimensinya pun lebih besar.

Rehabilitasi para korban peristiwa 65 adalah justru untuk kepentingan seluruh bangsa. Sebab, setiap orang yang mempunyai nalar sehat tentu akan mengakui bahwa masih adanya begitu banyak orang (yang jumlahnya puluhan juta) yang menanggung berbagai penderitaan berkepanjangan sebagai akibat kesalahan atau kejahatan rejim militer Orde Baru adalah sesuatu yang tidak baik sama sekali bagi kehidupan bangsa kita. Kiranya, hanya orang-orang yang berotak tidak waras sajalah yang bisa bangga atau gembira dengan perlakuan yang begitu tidak manusiawi itu.


KESALAHAN YANG TIDAK MENGUNTUNGKAN SIAPA PUN

Keanehan, atau kejanggalan, atau ke-tidak-normalan memang telah berlangsung sejak lama di Republik kita. Sekitar 3 juta orang tidak bersalah telah dibunuhi, dan ratusan ribu pernah ditangkapi atau ditahan secara sewenang-wenang. Tetapi, orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pembunuhan dan penahanan begitu banyak orang itu sampai sekarang tidak pernah ditindak menurut hukum. Bahkan, banyak di antara mereka yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam berbagai badan pemerintahan atau jadi tokoh masyarakat.

Pembunuhan besar-besaran terhadap sekitar 3 juta orang tidak berdosa apa-apa , dan penahanan ratusan ribu orang (termasuk lebih dari 10 000 di Pulau Buru) adalah kesalahan serius sekali atau kejahatan besar yang telah dilakukan oleh TNI-AD di bawah pimpinan Suharto. Kesalahan yang begitu serius atau kejahatan yang begitu besar ini tidak mudah dilupakan begitu saja oleh banyak orang yang mempunyai nalar sehat dan iman yang benar, atau yang memiliki rasa keadilan dan perikemanusiaan

Mohon para pembaca ikut merenungkan masalah yang berikut ini : apakah, sebenarnya, negara dan bangsa kita diuntungkan dengan adanya puluhan juta orang para korban peristiwa 65 yang terus-menerus menanggung berbagai penderitaan sampai sekarang? Atau, dengan kalimat lain, apakah keuntungannya bagi negara maupun bagi masyarakat luas untuk membikin berbagai penderitaan terhadap puluhan juta orang terus-menerus begitu lama ? Tidak ada sama sekali, sekali lagi, sama sekali tidak !!!!! (tanda seru lima kali). Bahkan, sebaliknya.

Masih adanya begitu banyak undang-undang, peraturan pemerintah, atau ketentuan-ketentuan lainnya ( sekitar 30) , yang ditujukan terhadap para korban peristiwa 65 merupakan aib besar atau cacad yang monumental bagi negara dan bangsa kita, yang katanya menjunjung tinggi-tinggi peradaban dan kemanusiaan, serta menghormati berbagai piagam PBB.


MEMBIARKAN KESALAHAN BERLANGSUNG 40 TAHUN

Belum direhabilitasinya para korban peristiwa 65 berarti bahwa politik yang otoriter, yang tidak bermanusiawi ( atau biadab), yang dibikin rejim militer Suharto dkk masih diteruskan sampai sekarang. Padahal, resminya Orde Baru sudah jatuh dengan runtuhnya kekuasaan Suharto sejak 1998. Mestinya, atau seharusnya, denganruntuhnya Orde Baru berkat perjuangan generasi muda dengan mendapat dukungan dari rakyat, ikut terbuang juga segala produk yang busuk bikinan rejim militer ini. Termasuk segala undang-undang dan peraturan busuk yang ditujukan kepada para korban peristiwa 65.

Adalah omong-kosong orang-orang yang tidak waras fikirannya, yang mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beradab dan beriman, kalau selama 40 tahun (!!!) bangsa ini membiarkan puluhan juta manusia menderita, hanya sebagai akibat dari kejahatan sekelompok pemimpin-pemimpin militer (khususnya TNI-AD) yang anti Bung Karno dan anti-PKI dan bersekongkol dengan imperialisme AS.

Sama sekali tidak ada segi positifnya bagi kalangan atau golongan yang tadinya mendukung Orde Baru, yang anti Bung Karno, atau anti-PKI, atau anti-golongan kiri lainnya, untuk meneruskan kesalahan serius atau kejahatan besar yang sudah dilakukan selama puluhan tahun itu. Juga tidak ada keuntungannya sedikit pun bagi siapa pun juga, untuk meneruskan penderitaan atau siksaan yang sudah 40 tahun dialami oleh begitu banyak orang tidak bersalah apa-apa.

Adalah fikiran yang keliru sama sekali, kalau mengira bahwa dengan terus mempertahankan sekitar 30 undang-undang dan peraturan yang diskriminatif terhadap para korban peristiwa 65 ini maka faham komunis akan terbendung atau terberantas. Dan juga, adalah fikiran yang salah sama sekali, kalau mengira bahwa dengan terus-menerus membikin berbagai penderitaan terhadap puluhan juta korban peristiwa 65, maka “bahaya laten PKI” (yang tidak ada itu) bisa diberantas.

Kiranya perlu disadari oleh mereka yang selama ini anti-PKI dan anti Bung Karno bahwa dengan membikin penderitaan dan sakit hati puluhan juta para korban peristiwa 65 beserta sanak-saudara mereka – terus-menerus dan dalam jangka lama pula – tidak membikin mereka yang telah diperlakukan sewenang-wenang ini menjadi orang-orang yang menghormati para pendukung Orde Baru.


MEREKA TIDAK PERNAH BERSALAH APA-APA

Selama para korban peristiwa 65 (beserta keluarga mereka) tidak atau belum direhabilitasi, sebenarnya kita tidak bisa atau tidak pantas menganggap negara dan pemerintahan kita sebagai negara yang menjunjung tinggi-tinggi demokrasi, beradab, dan berpedoman Panca Sila atau berjiwa Bhinneka Tunggal Ika

Selama sisa-sisa kesalahan besar atau kejahatan rejim militer Orde Baru ini belum dihapus, tidak bisa disalahkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia akan tetap menaruh sakit hati atau menyimpan dendam atas penderitaan yang berpuluh-puluh tahun sudah mereka alami. Adalah wajar, dan adalah juga manusiawi, kalau para korban peristiwa 65 itu merasa sakit hati berkepanjangan terhadap para pendukung rejim militer Orde Baru (terutama para pemimpin TNI-ADdan Golkar, dan juga sebagian golongan Islam) yang telah membikin penderitaan selama puluhan tahun, sedangkan mereka tidak pernah berbuat salah apa-apa terhadap siapa pun juga.

Sebaliknya, yang tidak wajar dan tidak manusiawi adalah kalau bersikap menerima saja, atau pasrah saja, atau diam seribu bahasa saja, walaupun sudah diperlakukan tidak adil atau dibikin menderita selama puluhan tahun secara sewenang-wenang. Sebab, mereka itu tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa terhadap negara dan bangsa. Mereka juga tidak berdosa sedikit pun terhadap siapa pun.

Adalah hak yang sah dan benar bagi setiap orang untuk protes atau melawan dengan berbagai cara kalau diperlakukan – sekali lagi, selama 40 tahun !!! - secara tidak adil, didiskriminasi, dirampas hak-haknya yang fundamental sebagai manusia, dianggap warganegara kelas dua atau tidak dianggap sama sekali sebagai warganegara normal. Melakukan perlawanan, dengan berbagai cara, terhadap ke-tidak-adilan atau kejahatan yang sedemikian serius ini adalah benar, adil, dan sah, dan merupakan sikap yang luhur dan juga kewajiban yang mulia.

Setiap orang yang waras fikirannya, atau sehat nalarnya, atau benar imannya, atau bersih hatinya, atau jernih pandangannya, tentu tidak setuju dengan perlakuan yang begitu kejam terhadap begitu banyak orang yang tidak bersalah apa-apa, dan dalam jangka waktu yang begitu lama !
Dengan kalimat lain, setiap orang yang sehat nalarnya dan jalan benar imannya pasti tidak senang melihat adanya ketidakadilan dan kebiadaban yang telah dilakukan dalam jangka waktu yang begitu panjangsekali lagi, oleh rejim militer Orde Baru, dan yang masih diteruskan sampai sekarang.

.
TIDAK MERUPAKAN PENDIDIKAN BAGI GENERASI MUDA

Belum direhabilitasinya jutaan orang tidak bersalah yang - telah secara keliru dan sewenang-wenang !!! - “dihukum” oleh rejim militer Suharto dkk itu tidak merupakan pendidikan untuk bangsa dan generasi muda kita. Kalau para korban peristiwa 65 tidak direhabilitasi maka bangsa kita dan generasi muda kita mengira bahwa perlakuan biadab Orde Baru terhadap mereka itu adalah benar dan juga adil. Kalau sampai demikian, maka, sungguh, ini merupakan malapetaka yang besar bagi hari kemudian bangsa kita.

Sebab, sekali lagi, bagi semua orang yang bernalar sehat, atau yang beriman secara benar, atau yang beradab dan manusiawi, adalah sudah jelas bahwa apa yang dilakukan oleh rejim militer Suharto dkk terhadap para korban peristiwa 65 beserta para sanak-saudara mereka adalah kejahatan besar yang merupakan aib dan dosa besar para tokoh negara kita. Seperti kita ketahui, rejim militer Orde Baru sudah banyak sekali melakukan kesalahan atau kejahatan selama mengangkangi negeri kita puluhan tahun. Tetapi, di antara banyak kesalahan itu yang paling besar adalah kesalahan (tepatnya kejahatan) membunuhi dengan sewenang-wenang jutaan orang, memenjarakan ratusan ribu orang tidak bersalah, dan juga membikin tergulingnya Presiden Sukarno.

Adalah masuk di akal setiap orang yang waras otaknya dan benar imannya bahwa kejahatan yang begitu besar dan serius itu tidak mudah dilupakan begitu saja oleh orang-orang (sekali lagi : yang tidak bersalah apa-apa !!!) yang telah dibikin menderita puluhan tahun. Dan adalah juga wajar-wajar saja bahwa banyak di antara para korban peristiwa 65 itu yang menaruh dendam dan sakit hati kepada mereka yang telah melakukan kejahatan besar selama waktu yang begitu panjang. Kebencian terhadap ketidak-adilan yang begitu menyolok sekali itu adalah benar.


HILANGKAN SEGERA SUMBER DENDAM INI!

Kalau direntangpanjangkan, atau diurut-urut lebih lanjut, rehabilitasi umum bagi korban peristiwa 65 akan mendatangkan banyak kebaikan bagi kehidupan bangsa dan negara kita. Tidak bisa disangkal, bahwa ada semacam perasaan sakit hati atau dendam yang mendalam di kalangan para korban peristiwa 65 ( baik orang-orang komunis atau yang bersimpati kepada PKI maupun yang non-komunis pendukung Bung Karno) terhadap para pendukung rejim militer Orde Baru.

Perasaan sakit hati atau dendam ini tidak hanya karena kejadian-kejadian yang berkaitan dengan G30S saja, melainkan juga karena serentetan panjang praktek-praktek yang tidak bermanusiawi selama 32 tahun Orde Baru. Perasaan sakit hati atau dendam ini wajar, sah, dan bisa dimengerti oleh nalar yang sehat. Tetapi, terus dilestarikannya sakit hati dan dendam ini sama sekali tidak menguntungkan bagi kehidupan bangsa, dan tidak mendorong adanya persatuan dan rekonsiliasi, yang sangat dibutuhkan oleh negara dan bangsa, untuk bisa menangani berbagai persoalan rumit dewasa ini dan di masa yang akan datang.

Jelaslah kiranya bahwa sumber sakit hati atau dendam ini adalah berbagai tindakan pimpinan TNI-AD yang berkaitan dengan peristiwa G30S, yang diteruskan sampai sekarang oleh para pendukung Orde Baru. Karena itu, rehabilitasi umum bagi para korban peristiwa 65 beserta sanak-saudara mereka, dan dihapuskannya segala undang-undang atau peraturan busuk yang ditujukan kepada mereka, merupakan langkah besar dan penting untuk meghapuskan sakit hati dan dendam ini.

Oleh karena itu semua, jelaslah bahwa persoalan rehabiltasi puluhan juta korban peristiwa 65 ini bukan hanya urusan para korban saja, melainkan urusan seluruh bangsa seluruhnya – termasuk golongan yang anti-komunis dan anti-Bung Karno - baik yang sekarang maupun yang akan datang. Rehabilitasi para korban peristiwa 65 juga merupakan koreksi yang amat penting terhadap salah satu di antara berbagai kesalahan berat rejim militer Orde Baru.

Kita perlu berusaha bersama-sama supaya kesalahan serius dan kejahatan besar Suharto (beserta para pendukung setianya) tidak terulang lagi, oleh siapa pun, bagaimana pun, kapan pun, dalam bentuk apa pun, dan dengan dalih apa pun.! Karena, korban sudah terlalu banyak, dan kerusakan juga sudah terlalu besar.


Paris, 10 Januari 2006

(Catatan akhir : copy tulisan yang berupa ajakan renungan ini dapat dikirimkan oleh siapa saja kepada para tokoh negara dan masyarakat kita



Tidak ada komentar:

Posting Komentar